Senin, 27 Maret 2017

penjelasan tentang 4 metode bahan menurun dan contohkan salah satu barangnya




Buat penjelasan tentang 4 metode bahan menurun dan contohkan salah satu barangnya!



1. Metode Jumlah Angka Tahun merupakan suatu metode penyusutan yang dipercepat yaitu sesuai pertimbangan bahwa biaya pemeliharaan dan perbaikan akan meningkat dengan bertambahnya usia aset tetap. Dengan kata lain, suatu bilangan pecahan yang semakin lama semakin kecil. Apabila umur aktiva sama dengan 4 tahun maka penyebut angka pecahannya adalah jumlah angka tahun yaitu 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Angka pembilang pada tahun pertama sampai dengan keempat masing-masing adalah 4,3,2, dan 1. Tarif penyusutan tahun pertama adalah 4/10, tahun kedua 3/10, tahun ketiga 2/10 dan tahun keempat 1/10.


Contoh : Kendaraan (mobil/motor/mobil pengangkut)


2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method) merupakan bentuk yang popular untuk mempercepat depresiasi. Tingkat yang digunakan yaitu satu kali dari tingkat yang digunakan oleh metode garis lurus.


Contoh : Mesin




3. Metode Saldo Menurun Ganda (Double Declining Balance Method) merupakan saldo menurun yang menggunakan tarip penyusutan dua kali dari yang digunakan metode garis lurus. Perhitungan saldo menurun ganda tidak mempertimbangkan nilai sisa dalam penyusutan setiap periode Namun, jika nilai buku akan jatuh di bawah nilai sisa, periode terakhir mungkin disesuaikan sehingga berakhir pada nilai sisa. Ketika metode saldo menurun ganda tidak sepenuhnya terdepresiasi aset pada akhir hidupnya, keseimbangan menurun variable metode yang dapat digunakan sebagai gantinya

Contoh : Komputer (bagi perusahaan rental komputer)


4. Metode Tarif Menurun merupakan metode dengan penurunan tarif (%) setiap periode dilakukan tanpa menggunakan dasar yang pasti, tapi ditentukan berdasarkan kebijaksanaan masing-masing perusahaan.





Contoh : Hak cipta

MEMBUAT LAPORAN RUGI/LABA BERDASARKAN TRANSAKSI

Habib mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama “Habib Agency” pada tanggal 1 Februari 2014. Transaksi selam satu bulan pertama kegiatannya adalah sebagai berikut.
 1.     Perusahaan membayar sewa ruko Rp4.500.000,00 untuk bulan pertama.
 2.     Menerima uang dari jasa yang diberikan sebesar Rp46.000.000,00.
 3.     Membeli perlengkapan dari toko Sinar secara tunai sebesar Rp2.100.000,00.
 4.     Menerima uang dari para langganan untuk jasa yang diberikan sebesar Rp22.500.000,00.
 5.     Membeli perlengkapan dari toko Maju secara kredit sebasar Rp7.500.000,00.
 6.     Perlengkapan yang terpakai sebesar Rp6.000.000,00.
 7.     Membayar gaji pegawai Rp6.000.000,00.
 8.     Menerima pinjaman dari bank sebesar Rp12.000.000,00.
 9.     Membayar kepada bank sebesar Rp12.150.000,00 untuk pinjaman yang diberikan berikut bunganya.
10.   Membayar biaya keamanan sebesar Rp30.000,00.
11.   Mengisi training kepemimpinan Rp500.000,00.


HABIB AGENCY
LAPORAN RUGI/LABA
Periode  Februari 2014

Penghasilan-penghasilan:
Hasil usaha bersih ................................................................Rp69.000.000,00
Pendapatan lain-lain .............................................................Rp    500.000,00 (+)

Biaya-biaya:
Biaya usaha................................Rp14.500.000,00
Biaya di luar usaha.....................Rp       30.000,00
Jumlah biaya.........................................................................Rp14.530.000,00 (-)
Laba bersih..........................................................................Rp54.970.000,00



CONTOH JURNAL TRANSAKSI

Transaksi dan Jurnal Reidza Matrial
Periode Februari 2014

1. Pada tanggal 1 Februari, Tuan Reidza mengatur uang pribadi ke dalam perusahaannya sebagai modal awal usaha matrial sebesar Rp100.000.000,00.
JURNAL
1 Feb 2014
Kas
Rp100.000.000,00
1 Feb 2014
      Modal
Rp100.000.000,00


2. Tanggal 2 Februari menyewa ruko untuk tempat penjualan Rp2.400.000,00 untuk satu tahun pertama secara tunai.
JURNAL
2 Feb 2014
Sewa dibayar di muka
Rp2.400.000,00
2 Feb 2014
      Kas
Rp2.400.000,00

3. Tanggal 3 Februari menyewa angkutan barang yang dibayar per minggu yaitu Rp300.000,00.
JURNAL
3 Feb 2014
Peralatan
Rp300.000,00
3 Feb 2014
      Kas
Rp300.000,00

4. Tanggal 4 Februari ada pemesanan pasir dari Bapak Cahyadi sebanyak 103 (1 truk) seharga Rp7.000.000,00.
JURNAL
4 Feb 2014
Kas
Rp7.000.000,00
4 Feb 2014
      Pendapatan
Rp7.000.000,00

5. Tanggal 5 Februari membeli persediaan barang jualan berupa cat, semen, dsb. Seharga Rp5.000.000,00.
JURNAL
5 Feb 2014
Persediaan
Rp5.000.000,00
5 Feb 2014
      Kas
Rp5.000.000,00


6. Pada tanggal 9 Februari menggaji karyawan baru untuk 2 minggu pertama yang dibayar di muka kepada Risman dan Rohmah sebesar Rp1.000.000,00 untuk berdua.
JURNAL
9 Feb 2014
Upah
Rp1.000.000,00
9 Feb 2014
      Kas
Rp1.000.000,00

7. Pada tanggal 10 Februari membayar infak ke Ibu Raisa, DKM Mesjid, sebesar Rp25.000,00 untuk acara pengajian bulanan.
JURNAL
10 Feb 2014
Beban di luar usaha
Rp25.000,00
10 Feb 2014
      Kas
Rp25.000,00

8. 11 Februari di beli bata sebanyak 1000 batang dengan Rp1.000,00 per batangnya.
JURNAL
11 Feb 2014
Kas
Rp1.000.000,00
11 Feb 2014
      Pendapatan
Rp1.000.000,00

9. 12 Februari membayar biaya andministrasi bank ke bank MKS Rp15.000,00 per bulan untuk bulan Februari.
JURNAL
12 Feb 2014
Beban usaha
Rp15.000,00
12 Feb 2014
      Kas
Rp15.000,00

10. 14 Februari membeli kado untuk pernikahan Resa berupa perlengkapan bayi Rp150.000,00.
JURNAL
14 Feb 2014
Beban di luar usaha
Rp150.000,00
14 Feb 2014
      Kas
Rp150.000,00
11.  15 Februari dibeli keramik oleh Nona Sispa sebanyak 20 dus, dengan harga Rp50.000,00 secara kredit.
JURNAL
15 Feb 2014
Piutang
Rp1.000.000,00
15 Feb 2014
     Persediaan
Rp1.000.000,00

12. Pada tanggal 17 Februari membeli etalase kepada Shinta Alumunium secara tunai seharga Rp1.000.000,00
JURNAL
17 Feb 2014
Perlengkapan
Rp1.000.000,00
17 Feb 2014
     Persediaan
Rp1.000.000,00

13. Pada tanggal 20 Februari membeli mobil pick up secont kepada ibu Raisa seharga Rp30.000.000,00 secara kredit.
JURNAL
20 Feb 2014
Perlengkapan
Rp30.000.000,00
20 Feb 2014
     Utang usaha
Rp30.000.000,00

14. Pada tanggal 25 Februari membeli rumah di daerah lembang kepada Tn. Shodiqin seharga Rp150.000.000,00 secara kredit selama 2 tahun.
JURNAL
25 Feb 2014
Beban di luar usaha
Rp150.000.000,00
25 Feb 2014
     Utang di luar usaha
Rp150.000.000,00


PERBEDAAN PENJURNALAN METODE PERIODIK DAN PERPETUAL

1. Perbedaan penjurnalan metode periodik dan perpetual!

No.
Metode Perodik
Metode Perpetual
1.
Menghitung jumlah persediaan di akhir suatu periode untuk melakukan pembukuannya.
Setiap  persediaan yang masuk dan keluar dicatat di pembukuan.
2.
Metode Periodik tidak mencatat HPP saat transaksi penjualan.
Metode Perpetual melakukan pencatatan aktivitas keluar masuk persediaan dan HPP ketika transaksi penjualan.
3.
Periodik, pencatatan hanya dilakukan saat pembelian, pencatatan HPP dilakukan nanti di akhir periode yang ditentukan (bulanan, triwulan, semester atau tahunan) perusahan, sehingga lebih cepat dan ringkas dalam membukukan Penjualan.
Dengan Perpetual kita bisa mengatahui posisi nilai persediaan kapan saja, karena selalu di bukukan/dijurnal setiap ada aktivitas keluar masuk.
4.
Pencatatan dilakukan setiap transaksi dilakukan.

Pencatatan dilakukan dengan pengecekan fisik persediaan saat periode tertentu.



MANFAAT LAPORAN KEUANGAN

*   Bagi pemerintah, laporan keuangan digunakan untuk menentukan pajak perusahaan, perhitungan pendapatan nasional, juga untuk kebijakan lainnya. Misalnya suatu bank karena mengalami kredit macet melebihi 20% apakah akan di liquidasi atau diakuisisi.
*   Bagi  Investor, laporan keuangan dibutuhkan sebagai informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
*   Bagi kreditur, laporan keuangan berfungsi sebagai bahan pertimbangan pemberian modal kredit, baik besar kecilnya maupun pertimbangan jangka waktunya.
*   Bagi masyarakat,  laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.
*   Bagi pelanggan, laporan keuangan berfungsi sebagai bahan pertimbangan menjadi konsumen tetap (member) melihat keberlangsungan perusahaan. Contoh: menjadi member Alfa mart.
*   Bagi karyawan, laporan keuangan berfungsi untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja.

*   Bagi bursa efek, laporan keuangan dapat membantu untuk menentukan harga saham perusahaan tersebut.

SUKUK

Tugas Individu
1133070214
Sispa Sritin Agustina (MKS 3 E)

Pertanyaan      : Apa itu sukuk?
Jawaban          :
Sukuk (bahasa Arabصكوك, bentuk jamak dari صك Shak, "instrumen legal, amal, cek") adalah istilah dalam bahasa Arab yang digunakan untuk obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.

Dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan sukuk sebagai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.[1]

Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas:
1.     Kepemilikan aset berwujud tertentu.
2.     Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
3.     Kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.




Referensi : Berharap dari Sukuk Ritel, Republika Online, 6 Februari 2009, diakses

tanggal 29 Maret 2011. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sukuk).

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA DAN KAJIANNYA DALAM EKONOMI ISLAM

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
DAN KAJIANNYA DALAM EKONOMI ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan
MAKALAH

Dosen Mata Kuliah :
NENENG HARTATI, S.E., M.M.



Oleh:
KELOMPOK 4

Nama : Rani Mardiani Sani
NIM   : 1133070182

Nama : Ratih
NIM   : 1133070183
Nama : Sihabudin Ali Khoer
NIM   : 1133070211

Nama : Sispa Sritin Agustina
NIM   : 1133070214

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M/1435 H
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dan Kajiannya Dalam Ekonomi Islam”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada murobbi sepanjang masa, Nabi Muhammad saw., yang telah memberikan motivasi melalui kisah inspiratif yang menggugah dan menjadi teladan untuk kehidupann sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Neneng Hartati, S.E. M.M. selaku dosen mata kuliah Perpajakan yang telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih juga kepada kepada sahabat seperjuangan Manajemen Keuangan Syariah 3 – E  yang mendukung dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun penulis harapkan demi kesempurnaan penulisannya dimasa yang akan datang. Demikianlah, semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Bandung, 11 Oktober 2014

Penulis



DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 4  
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 7
A.    Pengertian PBB......................................................................................... 7
B.     Objek Pajak............................................................................................... 8
C.     Subjek dan Wajib Pajak............................................................................ 10
D.    Cara Menghitung PBB.............................................................................. 12
E.     Dasar Pengenaan PBB.............................................................................. 13
F.      Dasar Hukum Pajak................................................................................... 14
G.    Tata Cara Penagihan dan Pembayaran Pajak ........................................... 15
H.    NJOP dan NJOPTKP................................................................................ 18
I.       Tarif Pajak................................................................................................. 20
J.       SPOP, SPPT dan  SKP............................................................................. 21
K.    PBB Menurut  Syariah.............................................................................. 25
L.     Tinjauan Ekonomi Islam terhadap PBB.................................................... 26
BAB III PENUTUP............................................................................................ 42
A.    Simpulan.................................................................................................... 42
B.     Saran.......................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 44
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pajak merupakan pemsukan negara terbesar di bandingkan sektor lainnya, berdasarkan Undang-undang, no. 16 tahun 2009, bwaha setiap paja yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mengkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang.
Pajak merupaka harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan negra (Fungsi pajak sebagai regureled) dan untu membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (fungsi pajak sebagai Budgetair) baik untuk belanja rutin maupun pembangunan intfrastuktur.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.


B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya:
1.    Apakah pengertian dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ?
2.    Apasajakah Objek Pajak itu ?
3.    Apa saja subjek pajak dan wajib pajak dalam PBB ?
4.    Bagaimanakan cara penghitunga PBB ?
5.    Bagaimana Dasar Pengenaan PBB ?
6.    Bagaimana Dasar Hukum PBB ?
7.    Bagaimanakah tata carapenagihan PBB ?
8.    Apakah NJOP DAN NJOPTKP itu ?
9.    Bagaimana dan berpakah tarif Pajak dalam PBB ?
10.     Apa yang dimaksud dan bagaimana tentang SPOP, SPPT Dan SKP ?
11.     Bagaimana Pajak Bumi dan Bngunan (PBB) menurut syariah ?
12.     Bagaimana tinjauan ekonomi islam terhadap pajak bumi dan bangunan di indonesia ?

C.  Tujuan
Berdasarkan rumusan maslah tersebut penulis berharap dapat mencapai tujuan sebagai berikut:
1.    Dengan ditulisnya penilis berharap dapat mengetahui apa itu pengertian dari PBB.
2.    Dapat mengetahui apasajakah yang termasuk objek pajak.
3.    Dapat mengetahui apasajakah subjek pajak dalam PBB.
4.    Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat engetahui bagaimana cara  penghitungan PBB.
5.    Dapat memahami bagaimana dasar pengenaan PBB.
6.    Mengetahui bagaimana dasar hukum PBB.
7.    Mengetahui dan memahami bagaimana cara penagihan PBB.
8.    Mengetahui dan meamahami apa itu NJOP dan NJOPTKP.
9.    Mengetahui berapa trif pajak dalam PBB
10.     Memahami dan mengetahui SOP, SPPT dan SKP
11.     Mengetahui dan memahami bagaimana dan seperti apa PBB menurut syariah itu.
12.     Mengetahui bagaimana tinjauan ekonomi silam terhadap pajak bumi dan Bangunan.






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian PBB
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.[1]
Pajak bumi dan bangunan adalah pajak baru yang mula berlaku pada tanggal 1 januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Thn 1986. Pajak ini dimaksudkan untuk menggantikan peraturan peraturan pajak seperti tersebut di bawah ini:
1.    Pajak Rumah tangga 1908 sebagaimana elah bebrapa kali diubah terakhir dengn peraturan pemerintah pengganti Undang-undang  Nomor 19 Tahun 1959, yang dengan undang-undang  No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang;
2.    Ordonansi Verponding Indonesia 1923, sebagaimana telah di ubah beberapa kali terakhir dengan staatblad 1931 Nomor 168;
3.    Ordonansi verponding sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dnegan undang-undang  no. 29 tahun 1959;
4.    Ordonansi pajak kekayaan 1932, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang no. 8 Tahun 1967;
5.    Ordonansi pajak jalan 1942 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Rechtspleging Oorlogsmisdrijven Staatsblad 1946 No. 47;
6.    Undang-undang darurat No. 11 tahun 1957 tentang peraturan umum Pjak Daerah Pasal 14 huruf j, k, dan i, yang dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang.
7.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tantang Pajak Hasil Bumi yang dengan Undang-undang No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang .
Dari uraian di atas jelas bahwa pajak Bumi dan Bangunan adalah bermaksud untuk menyederhanakan bebagai peraturan Pajak yang sampai sekarang masih berlaku dan menimbulkan banyak kesalah fahaman, karena pajak-pajak itu oleh rakyat dirasa menimbulkan pajak ganda.
Pajak bumi dn bangunan 1986, sebagaimana ternyata dari namanya bermaksud menenakan pajak atas Bumi dan bangunan. Tentunya erlu diketahui apa yang dimaksud BUMI dan apa yang dimaksud BANGUNAN.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, Bumi adalah permukaan bumi, (Perairan) dan tubuh bumi berada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi  teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dn atau perairan, yang diperuntukan sebagai tempat tinggal, atau tempat berusaha, atau tempat yang dapat diusahakan .[2]

B.  Objek PBB
Sebagaimana tercantum dalam UU PBB yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. (Pasal 2). Yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalalh Bumi dan/ atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yanf ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pada laman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) secra laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau diletaka secara tetap pada tanah dan /atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diuasahakan.
Termasuk dalam pengertian bangunan disini adalah:
1.    Jalam lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan,  seperti hotel, pabrik dan emlasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan komleks bangunan tersebut.
2.    Jalam tol
3.    Kolam renang
4.    Tempat olahraga
5.    Galangan kapal, dermaga
6.    Tempat penampungan air dan gas, pipa minyak
7.    Fasilitas lain yang memberikan manfaat.[3]
Adakalanya orang atau badan memeiliki rumah yang ada di atas tanah orang lain, sehingga pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang PBB memungkinkan orang yang memiliki rumah diatas tanah orang lain dikenakan pajak tersendeiri terlepas dari pajak yang dikenakan dianut asas pemisahan horisontal (horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan pemilik rumah yang ada diats tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya tidak sama dengan undang-undang Pokok Agraria maka ada baiknya bahwa hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak Bumi dn Bangunan. Masalah ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang masing-masing terikat dimiliki oleh orang lain.[4]
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan bahwa tidak dikenakan pajak adalah :
1.    Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan ridak untuk keuntungan antara lain,
2.    Digunakan untuk kuburan, peninggalan pubakala, atau yang sejenis dengan itu.
3.    Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak
4.    Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbal balik
5.    Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
Yang dimaksud dengan tidak dimaksud memeperoleh keuantungan adalah bahwa objek pajak yang diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dpat diketahui antara lain dari anggaran dasar anggran rumah tangga dari yayasan atau badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesui pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan negara diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerinta. Objek pajak tersebut mekdudnya objek pajak tersebut dimiliki atau dikuasai atau digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yag sebagian besar penerimaan merupakan pendapatan daerah yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga diminati oleh pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas tersebut dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa  objek pajak, mkaa yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.[5]

C.  Subyek dan Wajib Pajak
Subjek pajak adalah ornag pribadi atau bdan yang secara nyara:
1.    Mempunyai suaru hak atas bumu dan atau
2.    Memperoleh manfaat atas bumi dan atau
3.    Memeilikibangunan dan atau
4.    Menguasai bangunan dan atau
5.    Memperoleh manfaat atas bangunan.
Berikut akan dijelskan secara lebih rinci mengenai subyek pajak dan wajib pajak sebagai berikut.
Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara  nyata mempunyai satu hak atas bumi dan atau memiliki, menguadasi dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupaka bukt pemilik hak, setiap yang dikenakan pajak maka dia secara jelas wajib pajak dan apabila objek pajak belum diketaui secara wajib pajaknya maka Direktur Jendral Pajak mempuyai wewenang untu menentukan subjek wajib pajak apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Subjek pajak x memanfaatkan untuk menggunakan bumi dan atau bangunan milik y bukan karenas sesuatu hak bersasar undang-undang atu bukan karena perjanjian, maka x ayang memanfaatkan atu menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan dipengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek  pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan yng diberi kuasa dpat ditunjukan sebgai wajib pajak. Penujukan tersebut dilakukan oleh Dirjen Pajak dan bukan bukti pemikan hak.
Untuk wajib pajak tersebut diatas dapat diberikan keteangan secara tertulis kepad Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud, bilaketerangan tersebut disetujui, maka Direktur Jendral pajak menetapkan pembatalan sebagai wajib pajak sebagaimana diatas dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan tersebut. Abila surat yang diajuka tidak disetujui  maka Direktur Jendral mengeluarkan surat keputusan penoleakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tangal diterimanya surat keputusan penolakan , Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keptusan, maka keterangan keterangan yang ditujukan dianggap disetujui dan apabila Direktur Jendral Pajak diajukan itu memeberikan keputausan dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya ketenagan dari wajib pajak, maka ketetepan sabagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapat keputusan pencaburan penetapan sebagai wajib pajak.[6]

D.  Cara Menghitungan PBB
Untuk menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang harus dibayar maka harus diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi) dan/atau bangunan yang menjadi obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan bangunan didasakan pada keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang terbari adalah peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang  klasifikasi dan penetapan Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang menggantikan keputusan Menteri Kuangan Nomor 523/KMK.04/1998.[7]
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00, maka besarnya pajak yang terutang adalah :
PBB    = 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00)
           = 0,001 x Rp8.000.000,00
           = Rp8.000,00




E.  Dasar pengenaan PBB
Dasar pengenaan pajak adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapka per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Kuangan dengan mendengar perimbangan gubernur serta pemperhatikan:
1. Harga rata-rata ygn diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
2. Perbandingan harga dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dengan funsinya sama dan telah diketahui harga jualnya
3. Nilai perolehan baru
4. Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
5. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

    Ø  Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
    Ø  Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan stinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
    Ø  Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam penetapan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.

Contoh :
1.    Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase misalnya 20%, maka besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 = Rp400.000,00.
2.    Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Persentase misalnya 40%, maka besarnya 40% x Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:
1.    Sebesar 40% (empqt puluh persen) dari NJOP untuk:
a.    Objek Pajak perkebunan.
b.    Objek Pajak kehutanan.
c.    Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas buk9 dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2.    Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :
a.    Objek Pajak pertambangan.
b.    Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

F. Dasar Hukum Pajak
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah Undang-undang No.12 tahun 1985  sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994.
ASAS
Asas Pajak bumi dan Bangunan;
1.    Memberikan kemudahan dan kesederhanaan.
2.    Adanya kepastian hukum.
3.    Mudah dimengerti dan adil.
4.    Menghindari pajak berganda.
G. Tata Cara Penagihan Dan Pembayaran Pajak
1.  Jangka Waktu Pembayaran
Seperti telah kami uraikan di muka pada PBB belum diberlakukan sistem self assesment, dan pajak baru harus dibayarkan setelah ada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Ps 11 ayat 1 UU PBB). Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterima Surat Ketatapan Pajak.
Ternyata di sini terdapat jangkat waktu yang berlainan yaitu 6 bulan dan 1 bulan. Jangka waktu 6 bulan itu diberikan karena wajib pajak memenuhi segala peraturan sehingga diberi kelonggaran selama 6 bulan. Ini berarti bahwa jumlah pajak itu dapat dicicil selama 6 bulan asal sudah lunas pada selambat-lambatnya 6 bulan setelah diterima SPPT.
Tetapi pajak yang terhutang berdasarkan SKP hanya diberikan jangka waktu 1 bulan. Di sini sebetulnya ada umur sanksi, karena wajib pajak tidak memenuhi (seluruhnya) ketentuan Undang-undang.

2. Terlambat Membayar
Pajak harus sudah lunas pada ssat hutang jatuh temponya, pembayaran dapat diatur sendiri oleh wajib pajak, asal tidak melampaui batas waktu.
Jika pada saat hutang pajak jatuh tempo, dan ternyata pajak belum dibayar atau belum dibayar semua, maka dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, untuk jumlah yang sudah jatuh temponya tetapi belum dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran. Untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (Pasal 11 ayat 3).
Contoh:
SPPT tahun pajak diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986, dan besarnya pajak yang terhutang, adalah Rp100.000,- pada tanggal 2 September 1986 jumlah itu baru dibayar semuanya. Hutang pajak tersebut jatuh temponya pada tanggal 31 Agustus 1986, 6 bulan setelah SPPT diterima, jadi pembayaran dilakukan terlambat 2 hari. Maka, wajib pajak dikenakan denda administrasi sebesar 2%. Walaupun terlambat 1 hari ataupun 10 hari atau 20 hari, dendanya tetap 2% sebulan. Jadi pajak baru harus dibayar pada tanggal 2 September 1986, maka yang harus dibayar adalah Rp100.000,-, + 2% x Rp100.000,- = Rp102.000,-. Dan andaikata pajak baru dibayar pada tanggal 10 Oktober (jadi dihitung terlambat 2 bulan) maka pajak yang harus dibayar berikut dendanya adalahRp100.000,- + ( 2 x 2% x Rp100.000,-) = Rp104.000,- (pasal 11 ayat 3).
Kalau hutang pajak itu ternyata belum dibayar pada waktu pengecekan/pengawasan dilakukan, maka oleh kantor inspeksi pajak yang mengadministrasikan hutang pajak itu, akan dikeluarkan surat tagihan pajak sebesar jumlah pajak yang belum dibayar ditambah denda 2% untuk setiap bulan terlambat membayar (pasal 11 ayat 4). Menurut penjelasan UU surat tagihan pajak itu harus dilunasi dalam jangka waktu 1 bulan terhitung sejak tanggal diterima STP tersebut.

3. Tempat Dan Cara Pembayaran Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang dapat dibayar di bank, kantor pos, dan giro dan tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Karena pajak bumi dan bangunan, hasilnya sebagian besar akan diserahkan kepada pemerintah daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang memudahkan wajib pajak, dan pula agar pemerintah daerah dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan. Pajak untuk membiayai pembangunan di masing-masing wilayahnya. Kantor pos dan giro tersebear dimana-mana sampai ke kota-kota kecil, yang akan sangat memudahkan para wajib pajak yang tempat tinggalnya jauh dari kota-kota besar. Juga bank terdapat dimana-mana yang juga dapat dimanfaatkan untuk menerima pembayaran PBB. Disamping itu menteri keuangan masih dapat menunjuk di tempat-tempat lain yang diberi tugas untuk menerima pembayaran PBB (pasal 11 ayat 5 UU PBB).
Tatacara pembayaran pajak dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 1 s.d 5, diatur oleh menteri keuangan, dalam Kep.Men.Keu. No.1005/KMK04/1985.tgl.28-12-1985, lihat juga Kep.Men.Keu. No.346/KMK.01/1985.
Dalam hal PBB dibayar melalui petugas pemungut yang ditunjuk untuk itu maka setiap hari petugas pemungut wajib menyetorkan hasil pungutan PBB ke kantor pos dan giro setempat atau ke cabang Bank pemerintah setempat.

4. Penagihan
Lazimnya jika wajib pajak melakukan kewajibannya membayar pajak pada waktunya, maka tidak akan dilakukan penagihan oleh kantor inspeksi pajak yang bersangkutan. Penagihan baru dilakukan oleh kantor inspeksi pajak apabila wajib pajak tidak membayar hutang pajak yang sudah jatuh temponya, atau terlambat membayar pajak, sehingga dikenakan biaya sanksi administrasi. Surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), surat ketetapan pajak (SKP) dan surat tagihan pajak (STP) merupakan dasar untuk penagihan pajak (pasal 12 UU PBB).
Jika andaikata wajib pajak mempunyai hutang pajak berdasarkan SPPT sejumlah Rp100.000,- yang jatuh temponya pada tanggal 31 Agustus 1986, tetapi ternyata pada tanggal 2 November belum juga ada pembayaran maka akan diberi teguran dan baru kemudian dikeluarkan surat tagihan pajak oleh kantor inspeksi pajak, ditambah denda sebesar 2% utnuk setiap bulan terlambat pembayaran ( = 3 bulan). Surat tagihan pajak ini harus dibayar dalam waktu 1 bulan sejak tanggal diterima STP tersebut.
Jika dalam jangka waktu 1 bulan STP tidak juga dibayar maka pajak beserta denda ditagihkan dengan surat paksa (pasal 13 UU PBB). Untuk penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa berlaku UU No 19 tahun 1959 (tentang penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa).
Cara penagihan dilakukan sesuai dengan ketentuan UU tersebut, mengenai caranya, juru sita dan mengenai sita dan lelang (lihat Rochamat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan PT. Eresco 1986). Jika kita bandingkan dengan peraturan yang lazim diterapkan maka surat tagihan pajak berfungsi sebagai surat teguran terakhir yang kemudian dapat disusul dengan surat paksa.

5. Pelimpahan Penagihan PBB
Menteri keuangan oleh UU diberi wewenang untuk melimpahkan penagihan PBB kepada gubernur/kepala daerah tingkat I dan/atau kepada bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II (pasal 13 UU PBB).
Penjelasan pasal 14 mengatakan bahwa pelimpahan wewenang penagihan pajak kepada gubernur/kepala daerah tingkat I dan/atau kepada bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II bukanlah pelimpahan urusan penagihan melainkan hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendatan objek pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi wewenang menteri keuangan. Lihat Kep.Men.Keu No.1007/KMK.04/1985.
Dalam hal jumlah pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terhutang, tidak sesuai dengan objek pajak yang sebenarnya maka pemungut pajak (dalam hal ini gubernur, bupati, atau walikota) tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut kepada menteri keuangan c.q direktur jenderal pajak.
Pelimpahan wewenang ini tidak meliputi penagihan PBB untuk wajib pajak perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.[8]

H. NJOP dan NJOPTKP
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak tetrdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Yang dimaksud dengan :
·      Perbandingan harta dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
·      Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
·      Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi :
1.    Objek pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan.
2.    Objek Pajak Sektor Perkebunan.
3.    Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
4.    Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
5.    Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
6.     Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi.
7.    Objek Pajak Sektor PertambanganNon Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C.
8.    Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.
9.    Objek Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama.
10.     Objek Pajak usaha bidang perikanan laut.
11.     Objek Pajak usaha bidang perikanan darat.
12.     Objek Pajak yang bersifat khusus.
Sedangkan NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Mulai 1 Januari 2010, pemerintah menetapkan aturan baru tentang nilai jual kena pajak (NJKP) dan nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada 15 September 2009. Besaran NJOPTKP diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp12.000.000,-, kini paling rendah Rp10.000.000,- per objek pajak berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Pada tahun 2011 seiring dengan perkembangan ekonomi, moneter, dan harga umum objek pajak, menteri keuangan telah melakukan penyesuaian terhadap besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) PBB. Besarnya NJOPTKP PBB untuk tahun 2012 ditetapkan maksimal sebesar Rp24.000.000,- NJOPTKP merupakan pengurangan besarnya NJOP sebelum dikalikan tarif PBB sehingga NJOPTKP akan mengurangi besarnya PBB yang terutang.
Untuk menentukan besarnya NJOPTKP PBB tahun 2012 ditetapkan oleh kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak setempat atas nama menteri keuangan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat pemerintah daerah setempat, ketentuan tersebut diatur dalam peraturan menteri keuangan No.67/PMK.03/2011, tanggal 4 April 2011 artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran PBB yang harus ditanggung masyarakat. Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha.

I. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%(lima per sepuluh persen).
Tarif PBB untuk pedesaan dan perkotaan diturunkan dari 0,5% terhadap nilai jual objek pajak (NJOP) menjadi paling tinggi 0,3% dari NJOP.
Perubahan tarif PBB pedesaan dan perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada tanggal 15 September 2009.
Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah 31 Desember 2013.[9]
1.    Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang
    Ø  Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
    Ø  Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh :
a.    Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2005 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan terbakar.
b.     Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2005 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2005. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
2.    Tempat pajak yang terutang  :
a.       Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b.      Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau.

J. SPOP, SPPT dan SKP
1.    Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jemdral Pajak.
2.    SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah ;
Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada  Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
3.    Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jendral Pajak.
4.    Direktur Jendral Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
a.    Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b.    Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari umlah pajak yang dihitung berdasrkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tudak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jendral Pajak ternnyata jumlah oajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jendral Pajak menerbitkan SKP secara jabatan.
5.    Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP, dikenakan sanksi sebagaimana tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari pokok pajak.
SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jendral Pajak memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktur Jendral Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi:
·      Objek pajak dengan luas dan nilai jual
·      Luas objek pajak menurut SPOP
·      Pokok pajak                                                              Rp2.000.000,00
·         Sanksi Administrasi :
25% x Rp2.000.000,00                                   Rp  500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP         Rp2.500.000,00
6.    Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no. 4 huruf b, adalah selisis pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT                           Rp2.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
seharusnya terutang                                                          2.500.000,00
Selisih                                                                             Rp 500.000,00
Denda administrasi 25% x Rp500.000,00                          125.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB                   Rp 625.000,00
Untuk lebih memperjelas uraian di muka, berikut diberikan bagan mengenai sistem pengenaan PBB  dan bagaimana SPOP, SPPT, dan SKP dikeluarkan.[10]
SISTEM PENGENAAN PBB
Text Box: SPOPText Box: Wajib Pajak
Text Box: Pembayaran 31 Juli 2006 (paling lambat) apabila terlambat Pokok Pajak Terutang Denda 2% perbulan (dengan SPT)
Text Box: SPPT
1 Februari 2006
           
Text Box: SKPText Box: SPOP tidak benar (data disembunyikan )Text Box: SPOP tidak benar (data disembunyikan )Text Box: SPOP Tidak DikembalikanText Box: SPOP tidak benar (data disembunyikan )                                                                                                                                   










SPOP hanya diberikan dalam hal :
1.      Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap.
2.    Objek pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap.
3.    NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi.
4.    Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek pajak.
Berikut ini deberikan beberapa  bagan yang menggambarkan SPOP kembali, SPOP tidak kembali, dan SPOP kembali tetapi tidak benar, SPOP ditinjau dari sifat dan fungsinya.

K. PBB menurut syariah
Pajak Bumi dan bangunan (pbb) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan undang-undang Nomoe 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Sedangkan objek PBB adala “Bumi dan /atau Bangunan”
Bumi:
Permukaan bumi (tnah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahna. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dan lain-lain.
Bangunan:
Kontruksi teknik yang dinamakan atau diletakan secara tetap  pada tanah dan/atau perairan di wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai dan lain-lain.
Objek yang dikecualaikan adalah objek yang;
1.    Digunakan untuk semata-mata melayani kepentingan umum dibidang ibadah sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti masjid, greja, rumah sakit, pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan lain-lain.
2.    Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.
3.    Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata taman nasional dan lain-lain.
4.    Dimiliki oleh perwakilan diplomatik bersaarkan asas timbal balik dan organisasi internsional yang ditentukan oleh  Menteri Keuangan.
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1.    Mempunyai suaru hak atas bumi dan/atau
2.    Memeperoleh manfaat atas bumi, dan atau
3.    Memiliki, menguasai atas bangunan dan atau
4.    Memeperoleh manfaat atas bangunann
Kalo dilihat dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/ bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.[11]

L. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di Indonesia
1.    Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid Allah SWT sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S Ibrahim (14)ayat 32.

“Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurut air hujan dan langit.. (Q.S Ibrahim (14):32)
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga hidup mereka Islam menganggap hak kepemilikan adalah pembemberian Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekausaan manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari perannya sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malikat, sesungghnya aku hendak menjadikan sorang khalifah di muka bumi, (Q.S Al-Baqarah:30)
Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga sebagai khalifah, manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah sediakan di muka bumi. Semua yang halal dapat menjadi hak milik manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan kehidupan mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ysng dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu badan yang berada dlam kekusaan tanpa merugikan orang lain.
Menurut Undang-Unang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 hak milik adalah hak turun menuru, terkuat dan yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan  kepada pihak lain.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi islam ada tiga benruk yaitu:
1.    Kepemilikan pribadi (Prifate Ownership)
2.    Kepemilikan Publik (Public ownership)
3.    Kepemilikan Negara (State ownership)
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam:
1.    Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)
Setiap individfu memiliki hak untu menikmati hak miliknya, menggunkan secara Produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemborosan. Tetapi, haknua itu dibatasi oleh sejumlah batasan. Ia tidak boleh menggunakannya secara berhambur-hambur, juga  tidak bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk tujuan bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu tidak boleh menggunakan hak miliknya, yang biasa bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.
2.    Kepemilikan Publik (public ownership)
Kepemilikan publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Contohnya pentig dari pemilikan bersama adalah anugrah alam. Seperti air, rumput dan api, yang secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW. Semua itu pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan apapun untuk menggunakannya. Aladan lain adalah dami kepentingan umum. Jika ada individu yang menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan api hanya contoh kecil saja, akan tetapi masih banyak objek yang lain yang meimiliki kesamaan karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik kolektif, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
3. Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misanlnya untuk menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadailan, dan secaara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara juga bisa meningkatkan sumber penghasilannya dengan mengenakan pajak, ketika dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara hanya sebagai pemegang amanah (caretaker), sehingga merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik. Dalam kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut pandang dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi Islam dalam hal kepemilikan.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep pada sistem kapitalisme maupun sosialisme. Sistem kapitalisme mengedepankan  individualisme sehingga memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu untuk memiliki apa saja yang diingankan. Sedangkan sistem sosialisme sebaliknya, mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung tidak memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi dimiliki dan dikuasai oleh negera.
Kedua sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi Islam dalam hal konsep kepemilikan Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki harta kekayaan. Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam kehidupan setiap individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan fitrah manusia.
Namun dalam ekonomi Islam hak individu terhadap harta dibatasi oleh hak masyarakat. Artinya dalam harta individu terdapat hak milik masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19 yang artinya:
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Dalam ekonomi Islam, tanah merupakan kekayaan alam yang paling penting dimana tampaknya hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk apapun. Tanah merupakan sumber penghidupan yang pertama dalam Islam dengan tanah kita dapat menderikan tempat tinggal, bercocok tanam, mendirikan tempat produksi, dan lain sebagainya.
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendapat lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan pribadi atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk kepangkuan Islam secara sukarela atau melalui perjanjian. Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah bukanlah hak absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi bagi kemajuan masyarakat Islam.
Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr dijelaskan bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara lain:
1.    Tanah yang masuk wilayah Islam melalui penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriyah dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda, yaitu:
a.    Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan. Tanah tersebu menjadi milik bersama kaum muslim, baik generasi muslim saat penaklukan maupun generasi muslim di masa mendatang.
b.    Tanah mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini akan menjadi milik imam (negara).
c.    Tanah yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan bersama kaum muslim.
2.    Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.
Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.    Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam secara sukarela.
b.    Tanah yang subur secara alami seperti hutan serta berupa tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkan (menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3.    Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap memeluk agama mereka serta hidup damai dan aman dibawah naungan negara Islam. Tanah ini tetap menjadi milik mereka. Namun, jika didalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.
2.    Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Harta rampasan perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta bergerak atau harta yang dapat dipindahkan tetapi juga harta tidak bergerak yang meliputi tanah-tanah pertanian di negara yang dikuasai.
Di antara tindakan Rasulullah SAW. terhadap tanah yang dikuasai yang dapat dijadikan contoh adalah perlakuan beliau terhadap tanah Khaibar adalah sumber kharaj untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar ditaklukan, tanah tersebut diserahkan pada bangsa Yahudi khaibar bukan untuk dijadikan sebagai milik mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil tanaman dan buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil setengahnya sebagai kharaj, Nabi SAW. mengutus Abdullah bin Rawahah.
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa dia ambil dari kata “kharaja”, yng artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memeberikan pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak bumi, jizyah dan ’Usyr .
Dalam reading in islamic fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut:
Khera was used for levies in return for leasing a land. The Arabs used to call land rent or haouse rent as kharaj. Umar leased conquered lands to people in return of a fixed levy and it was called kharaj .

Pada masa rosullulah saw, jumlah kharaj  yang dibayarkan masih sangat  terbatas shingga tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang terperinci. Selama pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dengan semakin lausnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yag diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Dimasa Umar Bin Khatab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang ditetapkan rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta yang berupa barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya sebagai milik umum umat islam dan diambil kharaj darinya.
Sistem pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam sistem yaitu sistem wazifah (tetap) dn sistem muqasamah (proporsional). Dalam buku reading in islamic fiscal policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu sebagai berkut:
Kheraj, since the dayas of HAZRAT Umar and until Mahdi’s reign during the Abbasaid era, was levied on acreage basis and not on crop. A major development accurred during Al-Mahdi’s reign and the state adopten Al-Mugasama or crop sharing intead of the aceage system. The state under new system shared crpos with tenant on the basis of a certain percentage of total harvest. This implied that kharaj, rwverme would not be fixed but would very with variation in total crop. A main reason behind the change was suggested to reduce burned of fixed kharaj on formers.
Abu Ubeid, the founder of new system, suggested new rates which varied according ti difficulties of irrigation. Rates ware reduce wherever difficulties  existed. Rates also varied according to vicinty to market. This gives a clear  indication that  vartical aquity was catered for Islamic levies. Abu yusuf later suported the new system as being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also be subject to kheraj. He also suggested that the ruller could veru kheraj according the ability ot tenant.
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (waziyah), yaitu beban pada tanah sebanyak hsil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib setelah lampau satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari halifah Umar bin Khattab sampai pada amasa daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode perhitungan wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau  wazifah ini tidak lagi efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah sedangakan seabgian lainnya menganggur. Area yang diolah diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.
Dan  yang kedua adalah kharaj perbandingan ( muqasamah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total hasil yang panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan pertimbangan persentase yang ditetepkan oleh negara tidak terlalu tinggi. Abu yusuf merekomendasikan adaptsi dari sistem muqasamah denganmengenakan presentase dari produksi panen. Yang sudah ada
Penetapan kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat berpengaruh, yaitu:
1.    Jenis tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
2.    Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.
3.    Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam pengambilannya.

Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia
1. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994. Dengan pertimbangan bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagaian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembagunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
          Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memilih tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena itu, kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus dijalankan.
Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus menemukan contoh masing-masing pada masa lalu. Kebijakan yang relavan bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara Islam untuk mengenakan pajak dengan keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis bila perpajakan negara-negara muslim harus terbatas hanya pada lahan pajak yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan perlu melengkapi sistem pajak dengan menyertakan realitas perubahan terhadap kebutuhan negara berkembang dan perekonomian modern.
Salah satu sumber penerimaan negara Islam adalah zakat dan sasaran penggunaan dana zakat hanya terbatas pada delapan asnaf yang telah ditentukan Al-Quran. Oleh karena itu, keperluan pembangunan insfratuktur seperti untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, pengairan, dan lain sebagainya harus dibiayai dari sumber lain di luar zakat.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lain-lain. adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada. Maka untuk dapat membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib.”
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin dengan meningkatkan pajak bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam. Namun dengan melakukan pinjaman kepada negara asing dan lembaga keuangan internasional akan berpotensi membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban sementara waktu yang pada akhirnya akan membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang yang berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
    Ø  Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dna tidak ada sumber lain.
    Ø  Pembagian beban pajak yang adil
    Ø  Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu
    Ø  Persetujuan para ahli dan para cendikia
Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah selalu meminta pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan kebijakan. Sebagaimana QS. An-Nisa: 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yagn beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil mari di antara kamu...”
Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dendan sumebr penerimaan negara lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses pembangunan baik pembangunan fisik sepertijalan, jembatan, gedung, rumah sakit, dan sekolah keagamaan (kerohanian) dan lain sebagainya yang tidak terlihat namun berperan penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk menghimpun penerimaan negara, kebijakan di bidang PBB juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif. Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai ekonomis tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB mendorong masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan yang mereka miliki.

2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan
Tema distribusi menjadi kajian sentral dalam filosofi ekonomi Islam, secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut distribusi kekayaan. Konsep kekayaan adalah konsep stock, seperti halnya tabungan yang diinvestasikan atau ditumpuk-tumpuk inilah kekayaan seseorang pada titik tertentu. Sedangkan konsep pendapatan adalah konsep flow, misalnya pendapatan perminggu, perbulan, atau pertahun.
Dalam kehidupan ada sejumlah orang yang memiliki kekayaan sementara yang lainnya tidak. Kekayaan tersebut bukanlah hak dan kendali absolut, sehingga bukan untuk dihabiskan sia-sia atau didiamkan tanpa dimanfaatkan. Namun harus digunakan untuk tujuan produktif sehingga tidak hanya bermanfaat bagi dirinya tetapi juga bagi oranglain.
Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan berusaha menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan kepada seluruh anggota masyarakat.
Islam memberi hak intervensi kepada negara untuk mengaplikasikan konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi penyimpangan dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan gagasan keadilan sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan adanya konsep distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan ditemui sebuah perbedaaan tingkat ekonomi, ataupun kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota masyarakat.
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :
1.      Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk hidup.
2.      Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendiri, misalnya zakat, selain dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga meningkatkan keimanan dan menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain.
3.      Menciptkan kebaikan antara yang kaya dan yang miskin.
4.      Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
5.      Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.
6.      Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian

Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan. Yang pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi (kekayaan induk) seperti tanah, bahan-bahan mentah, alat dan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi barang dan komoditas. Sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif (kekayaan turunan), yaitu barang-barang modal dan aset tetapi (fixed asset) seperti gedung, kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan hasil dari proses produksi menusia dengan kerja. Jadi dalam ekonomi Islam distribusi mencakup pada kedua jenis keyaan itu.
      Pajak merupakan salah satu alat redistribusi kekayaan dalam ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat dan warisan. Distribusi kekayaan dilakukan sebagai usaha untuk mencegah konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu .. “ (Q.S. Al-Hasy (59):7)

      Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan atau bangunan. Bumi atau tanah merupakan salah satu sumber produksi dan bangunan merupakan salah satu jenis kekayaan produktif sehingga kedua merupakan objek dari distribusi kekayaan.
Salah satu cara untuk mendistribusikan kekayaan tersebut adalah dengan memungut pajak dari kekayaan yang dimiliki masyarakat dan hasil dari pajak tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat kembali.

3. Tarif perpajakan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam Ekonomi
    Islam
 Tarif perpajakan di Indonesia ada beberapa macam dan sistem tarif yang digunakan dalam pajak dan bangunan (PBB) adalah tarif proporsional. Dimana besarnya presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Besarnya presentase yang digunakan dalam PBB sebesar 0,5%. Apakah adil penggunaan presentase tarif pajak yang sama antara orang yang memiliki tanah luas dengan orang yang hanya memiliki tanah untuk kebutuhan primer?
Menurut Rochmat Soemitro pajak merupakan senjata yang ampuh utnuk menjembatani jurang kemisikinan antara golongan yang berpenghasilan tinggi dengan golongan yang berpenghasilan rendah. Untuk hal tersebut, ditempuh dengan jalan menerapkan tarif progresif. Pada tarif progresif persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Pajak merupakan alat retribusi kekayaan, dimana pajak dengan tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang mampu, peranan ini sangat penting untuk mengenakan keadilan sosial.
Dalam bukunya Majmuatur Rasa’il, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa sestem perpajakan progresif seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata.
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan pajak progresif yang ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Pada masa nNabi tarif zakat bisa begitu rendah adalah lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari dana zakat relatif masih sederhana, jauh dibawah tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang, seperti kebutuhan untuk membangun jalan tol, kebutuhan jaringan komunikasi dengan satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya.
Besar kecilnya tarif pajak secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip syariat. Nabi menetapkan tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun (rikaz). Artinya, apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan yang ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nai tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem perpajakan progresif pun bisa diterapkan.
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5%. Di mana tidak ada kenaikan tarif seiring dengan bertambahnya dasar pengenaan PBB. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam nemtuk tanah maupun bangunan (property).
Pajak progresif adalah cara yang terbaik untuk menghilangkan perbedaan kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana kekayaan itu tidak dapat didistribusikan secara merata di antara masyarakat. Oleh karena itu, untuk merubah keadaan demikian harus digunakan pajak bertingkat (progresif) agar jurang perbedaan dapat diperkecil. Hendaklah orang kaya diturunkan setingkat dan orang miskin dinaikkan setingkat sehingga dua golongan ini berdekatan satu sama lain.



BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Sesuai dengan UU Pph, atas pengahasilan dari pengalihan dan pengalihan hak berupa tanah dan /atau bangunan, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. PP yang mengatur mengenai hal ini adalah  PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Pengasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hk atas tanah dan/atau bangunan. PP ini mencabut ketentuan lama yaitu PP nomor 3 tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun berjalan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dilihat dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/ bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.

B. Saran
Dengan makalah ini semoga pembaca bisa mengetahui dan memahami mengenai pajak bumi dan bangunan serta tata caranya, sehingga dalam pengaplikasian nyatanya pembaca tidak akan menemukan kekeliruan.




DAFTAR PUSTAKA

Aristanti widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung: Alfabeta.
Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut  Syriah.jakarta: Rajawali Pers.
Mardiasmo. 2008. Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT ERESCO BANDUNG.
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.Pajak Di Indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/1247





[1] Aristanti widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung: Alfabeta.
[2] Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT ERESCO BANDUNG.
[3] Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
[4] Ibid
[5] Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
[6] Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU5
[7] IBID
[8] Ibid
[9] ibid
[11] Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut  Syriah.jakarta: Rajawali Pers.