Sabtu, 14 Desember 2013

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan

Ciamis, 15 Januari 2013

Perihal                         : Lamaran Pekerjaan

Yth. Pimpinan PT Global Rajawali
Jalan Rajawali Barat nomor 277 A    
Bandung 40213

Dengan hormat,

Berdasarkan pengumuman yang dimuat pada www.berniaga.com, tanggal 14 Januari 2013, dengan ini saya berminat untuk mengajukan diri menjadi staff administration office di PT Global Rajwali yang Bapak/Ibu pimpin.

Data diri saya sebagai berikut.
nama                           : Sispa Sritin Agustina
tempat, tanggal, lahir  : Ciamis, 30 Agustus 2013
lulusan                         : Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran
SMK Negeri 1 Ciamis
alamat                         : Dsn. Riduwangi Ds. Mekarwangi RT/RW : 11/03
Kec. Sukamatri Kab. Ciamis 46264
nomor handphone       : 085795694452

Saya dapat mengoperasikan Ms. Office, dan dapat mengetik cepat. Selain itu saya mempunyai pengalaman berorganisasi yang baik ketika sekolah.

Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan :
1.   Satu lembar daftar riwayat hidup
2.   Satu lembar fotokopi ijazah terakhir
3.   Satu lembar transkip nilai
4.   Satu lembar sertifikat pendidikan komputer
5.   Satu lembar sertifikat bahasa Inggris
6.   Satu lembar fotokopi KTP
7.   Dua lembar pasfoto ukuran 4x6 cm
8.   Tiga lembar fotokopi sertifikat pengalaman organisasi
9.   Satu lembar fotokopi sertifikat praktek kerja industri

Demikian surat lamaran ini saya sampaikan dengan harapan mendapat perhatian dari Bapak/Ibu. Atas perhatian Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.

Hormat saya,




Sispa S Agustina

Kamis, 05 Desember 2013

Paper "Nasikh Mansukh (dalam Al-Quran)"

PAPER
ULUM AL-QURAN
NASIKH-MANSUKH
Untuk memenuhi tugas Ulum Al-Quran dengan dosen:
Dr. KH. Abdul Hamid, M.Ag.


Di susun oleh:
         Nama          : Sispa Sritin Agustina
         NIM            : 1133070214



Jurusan Manajemen Keuangan Syariah
Fakultas Syariah & Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

2013 M / 1435 H



KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah swt. Sang Khaliq pemilik Al-Quran yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Sang Murobbi agung sampai akhir zaman semoga shalawat salam senantiasa tercurah-limpahkan padanya selalu.

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan Paper yang berjudul “Nasikh-Mansukh” sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Ulum Al Quran. Penyusunan Paper ini merupakan salah satu sarana pembelajaran bagi penulis untuk lebih meningkatkan pengetahuan dalam ilmu-ilmu Allah yang begitu luasnya juga untuk lebih meningkatkan kreatifitas dalam menulis karya.

Penulis sadar bahwa Paper ini masih jauh dari kata sempurna baik itu dari segi materi ataupun tatacara penulisannya. Untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kemajuan kualitas Paper ini.

Paper ini dapat selesai atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. KH. Abdul Hamid, M.Ag selaku dosen guru besar Mata Kuliah Ulum Al-Quran yang telah memotivasi penulis sehingga Paper ini dapat terselesaikan.

Semoga dengan adanya Paper ini, dapat meningkatkan pengetahuan, minat baca dan menulis baik bagi penulis maupun pembaca. Merupakan suatu harapan pula, semoga Paper ini tercatat sebagai satu amal saleh yang dapat diterima Allah swt. Aamiin.

Bandung, 5 Desember 2013

Penulis     


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
ABSTRAK................................................................................................. 1
PENDAHULUAN..................................................................................... 2
A. Latar Belakang.............................................................................. 2
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 3
C. Maksud dan Tujuan....................................................................... 3
PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A. Pengertian Nasikh-Mansukh.......................................................... 4
B. Macam-macam Nasikh-Mansukh................................................... 7
C. Rukun dan Syarat Naskh............................................................... 10
D. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’............................. 11
E. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh................................ 13
F. Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh.................................................... 14
G. Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran......... 17
H. Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh.......................................... 22
PENUTUP.................................................................................................. 23
Simpulan............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 24



ABSTAK

Lafadz nasikh terdapat dalam Al-Quran. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan, pembatalan) dalam Al-Quran. Di sisi lain, Allah menegaskan bahwa: “Seandainya Al-Quran itu datang bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (An-Nisa: 82). Konten ayat ini diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, dan memang demikian yang seharusnya. Namun, ulama berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan kontradiksi. Persoalan inilah yang, antara lain, menjadi sebab-musabab timbulnya pembahasan tentang nasikh wa al-mansukh.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika selalu dilakukan amandemen terhadap UUD, apakah ada amandemen untuk Al-Quran? Inilah tema penting yang hendak penulis bahas dalam Paper Ulum Al-Quran yang berjudul “Nasikh-Mansukh”. Yang berarti penghapusan, pembatalan, pencabutan atau penghilangan suatu hukum (syariat) terdahulu dengan dalil yang datang kemudian (raf’ al-syar’ hukman syar’iyyan bi dalil hukmin muta’akhirin).

Bukan karena muatannya kontroversial dan debatable, namun memang terbukti karena posisinya (nasikh-mansukh) mampu merespon perkembangan zaman, terutama dalam konteks hukum Islam. Dalam memutuskan hukum halal ataupun haram dapat dengan mudah direvisi bila dalam kondisi tertentu mendesak untuk melakukan perubahan. Keberadaan konsep ini ditopang dengan kaidah usul fiqih: alhukm yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman (hukum berlaku berdasarkan alasan pemberlakuan hukumnya). Karena nasikh-mansukh ini hukum syariat Islam tampak dinamis dan up-to-date.

Oleh karena itu, dalam kajian hukum Islam, nasikh-mansukh sangat dimungkinkan bahkan diperlukan terbukti dengan banyaknya pemberlakuan hukum syariat yang bersifat sementara yang kemudian dibatalkan oleh hukum baru yang dianggap lebih tepat. Kasus pelegalan Al-Quran terhadap perbudakan yang kemudian dihapuskan, menjadi indikator akan pengakuan Al-Quran terhadap konsep nasikh-mansukh ini. Demikian pula halnya dengan kasus pengalihan arah kiblat dari Masjid Al-Aqsha ke Masjid Al-Haram, pembolehan nikah mut’ah yang kemudian dilarang, pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan, dan banyak kasus lain.
Namun, konsep naskh-mansukh akan menjadi kontroversial ketika wacananya digiring ke arah nasikh-mansukh dalam lingkup internal Al-Quran (pembatalan satu ayat hukum oleh ayat hukum lain), atau bahkan Al-Quran oleh hadits. Tidak seperti pembatalan peraturan/undang-undang yang malah sangat diperlukan bila yang lama sudah tidak lagi relavan, pembatalan di lingkungan internal Al-Quran menjadi kontroversial karena terkait dengan kedudukan kitab suci umat Islam.



yang dianggap mutlak, tanpa kontradiksi, tidak mengalami perubahan dan berlaku untuk segala zaman (shalih likull zaman wa makan).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis menyimpulkan rumusan masalah Paper ini adalah sebagai berikut.
1.      apakah itu sebenarnya yang dimaksud dengan nasikh-mansukh?
2.      apa sajakah macam-macam nasikh-mansukh?
3.      apakah rukun dan syarat naskh?
4.      bagaimanakah perbedaan antara naskh, takhsish, dan bada’?
5.      bagaimanakah dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh?
6.      apa sajakah bentuk-bentuk nasikh-mansukh?
7.      bagaimana pendapat ulama tentang nasikh-mansukh dalam al-quran?
8.      apakah saja manfaat mengetahui nasikh-mansukh

C. Maksud dan Tujuan
Tujuan penulis menangkat tema “Nasikh-Mansukh” adalah sebagai berkut:
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan nasikh-mansukh.
2.      Untuk mengetahui macam-macam nasikh-mansukh.
3.      Untuk mengetahui  rukun dan syarat naskh.
4.      Untuk mengetahui perbedaan antara naskh, takhsish, dan bada’.
5.      Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh.
6.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk nasikh-mansukh.
7.      Untuk mengetahui pendapat ulama tentang nasikh-mansukh dalam al-quran.
8.      Untuk mengetahui manfaat mengetahui nasikh-mansukh.

Adapun maksud penulis adalah semakin meningkatnya kecintaan penulis dan pembaca pada Al-Quran melalui Paper ini serta turut dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.



PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh-Mansukh
Kata nasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti, yaitu menghapus dan menghilangkan (al-izalat), mengganti dan menukar (at-tabdil), memalingkan (at-tahwil) dan menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi nasikh adalah sesuatu yag menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak memberlakukan. Adapun mansukh adalah sesuatu yang dihapus, diganti dan dibatalkan atau yang tidak diberlakukan. Sedangkan secara terminologi arti nasikh-mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syariat dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimmi). Baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.

Di dalam Al-Quran, kata nasikh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak empat kali:
1.    QS. Al-Baqarah: 106
2.    QS. Al-A’raf: 154
3.    QS. Al-Hajj: 52
4.    QS. Al-Qamar: 29

Sesuatu yagn membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.

Pengertian naskh secara terminologi digolongkan ke dalam dua golongan yaitu:
1.      Menurut ulama Mutaqadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti nasikh-mansukh dari segi terminologi mecakup:
a.       Pembatalan hukum yang ditetapkan terhadap ayat terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusu yang datang kemudian.
c.       Penjelasan yang datang kemudian kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar).
d.       Penetapan syariat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena konndisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian naskh.

Bahkan, ada di antara ulama yang beranggpaan bahwa sebuah ketetapan hukum yang ditetapkan dalam kondisi tertentu menjadi mansukh bila terdapat ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain. Misalnya, perintah untuk bersabar, menahan diri pada periode Makkah saat kaum muslimin masih dalam kondisi lemah dianggap telah di-nasikh-kan oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Ada pula yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan huku yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dri pengertian nasikh.

2.      Menurut ulama Mutaakhirin (setelah abad 3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalakan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya, ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.


3.      Menurut al-Fakhruzi, Al-Quran memuat tiga jenis nasakh.
        Ø  Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Nasakh ini tidak boleh dibaca dan tidak boleh diamalkan karena telah di-nasakh-kan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat tentang penyususan menjadikan ke-mahram-an seseoran gdengan sepuluh kali penyusuan. Aisayah ra. Berkata: “Termasuk Al-Quran yang pernah diturunkan, sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat menjadikan ke-mahram-an seseorang, kemudian di-nasikh dengan ketentuan lima kali menyusui yang diketahui. Maka, wafatlah Rasulullah saw., sedangkan ketentuan masalah ini tidak termasuk dalam ayat Al-Quran yang dibaca”. Tentang masalah ini, al-Fakhruzi berpendapat bahwa bagian pertama, yakni sepuluh kali penyusuan dapan menjadikan ke-mahram-an seseorang. Kalimat ini dinasakhan hukum dan bacaannya, sedangkan bagian kedua yakni lima kali penyusan di-nasakh-kan bacaaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku.

        Ø  Kedua, nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap berlaku. Sebagaimana dikatakan az-Zakasyi dalam al-Burhan, wajib diamalkan bila diterima secara sepakat-bulat oleh umat seperti yang tersurat dalam surat an-Nur bahwa: “Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian karena itu kufur bagi kalian.” Jenis kedua ini sedikit sekali ditemui dalam Al-Quran dan jarang sekali pula ditemukan contohnya dalam Al-Quran karena Allah menurunkan Al-Quran untuk dibaca sebagai ibadah dan penyusunan hukum-hukum bagi manusia.

        Ø  Ketiga, nasakh hukum tetapi bacaannya tetap berlaku. Jenis ini banyak sekali ditemukan dalam Al-Quran. Jenis inilah yang sangat dikehendaki oleh syariat Islam. Misalnya, ayat tentang kiblat yang artinya:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah (kiblat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Ayat terebut dinasikh-kan oleh ayat yang artinya:
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144)

B. Macam-macam Nasikh-Mansukh (اقسام السخ)

والنسخ اربعة اقسام:
القسم الاول: نسخ القران بالقران : وهذاالقسم متفق على جوازه ووقوعه من القائلين بالنسخ, فاية الاعتدادد بالحولل مثلا نسخت بايةالاعتداد باربعةاشهروعشرا, كماسيأتي في الامثلة.


القسم الثانىي: نسخ القران بالسنة : وتحت هذا نوعان:
ا- نسخ القران بالسنة الاحادية . ووالجمهور على عدم جوازه . لا ن القران متواتر يفيد اليقين, والاحادي مظنو ن,ولايصح رفع المعلوم بالمظنون

ب- ونسخ القران بالسنه اترة. وقداجازه ما لك وابوحنيفةواحمدفي رواية,لاناالكل وحي.قال تعال (وما ينطق عن الهوى,ان هوالاوحي يوحى-النجم)وقال (وانزلنااليك الذكرلتبين للناس مانزل اليهم 44: النحل) والنسخ نوع من البيان – ومنعه الشا فعي واهل الظا هرواحمدفي الروايةالاخرى,لقوله تعال (ماننسخ منايةاوننسهانأت بخيرمنهاأومثلها 102- البقره) والسنلة ليست خيرامن القران ولامثله.

القسم الثالث : نسخ السنة بالقران , ويجيزه الجمهور,فالتوجه الى بيت المقد س كان ثابتابالسنة, وليس في القران يدل عليه, وقد نسخ بل لقران في قوله (فول وجهك شطرالمسجدالحرام 44- البقروة) ووجوب صوم يوم عاشوراء, كان ءابتابالسنة ونسخ بقوله (فمن شهدمنكم الشهرفليصمه 185-البقرة) ومنع هذاالقسم الشافعي في احد ى روايتيه , وقال : "وحيث وقع بالسنة فمعها قران, اوبالقران فمعه سنة عاضده تبين توافق الكتاب والسنة"(2)

القسم الرابع : نسخ السنة : وتحت هذااربعة انواع : 1- نسخ متواترةبمتلواترة   2 - ونسخ احادباحاد  3- ونسخ احادبمتواترة   4- ونسخ متواترةباحاد – والئلائةالاولى جائزة – اماالنوعالرابع ففيه الحلاف الواردفي نسخ القران بالسنة الاحادية, والجمهورعل عدم جوازه.

امانسخ كل من الاجماع والقياس والنسخ بهما فالصحيح عدم جوازه.

artinya:
1.    Al-Quran dengan Al-Quran
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari. Allah swt berfirman:

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggakan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jiika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 240).

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) emapat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui pa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234).

Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawain lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah iddah. Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu.

2.    Al-Quran dengan Sunah
Naskh ini ada dua macam yaitu:
a.    Naskh Al-Quran dengan Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Quran tidak boleh di-naskh oleh hadits ahad, karena Al-Quran adalah mutawatir, sedangkan hadits ahad bersifat dzanni (dugaan). Disamping itu tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

b.    Naskh Al-Quran  dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.




Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

“ Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepat umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)

4.      Sunnah dengan Al-Quran
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapn itu dinaskh oleh Al-Quran dengan firmannya:

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah  ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Pelingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalh benar dari Tuhannya dan Allah sesekali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144)

5.      Sunnah dengan sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat emapt bentuk:
a.       Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir;
b.      Sunnah ahad dengan sunnah ahad;
c.       Sunnah ahad dengan mutawatir;
d.      Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad;
Bentuk a, b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.


C. Rukun dan Syarat Naskh
         1.         Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
         2.         Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menhapuskannya.
         3.         Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
         4.         Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Adapun syarat-syarat naskh adalah:
       1.           Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
       2.           Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
       3.           Pembatalan huku tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di-naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
       4.           Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.

Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:
           1.       Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan Khabar itu sendiri, sedangkan Al-Quran dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
           2.       Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.





D. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, Al-Maraghi dan Abu Muslim Al-Ashfahani dalam memandang persoalan naskh. Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Quran. Namun, dengan tegas, Al-Ashfahani menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah disentuh “pembatalan”. Meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
         1.         Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
         2.         Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigus;
         3.         Adanya penetapan syarat terdapat hukum yang terdahulu yang belum bersyarat;

Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan Al-Ashfahani memandangnya sebagai takhsish. Tampaknya, Al-Ashfani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada naskh dalam Al-Quran. Kalaupun di dalam Al-Quran terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebahagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafadz ‘amm.

Bertolak dari pengertian naskh dan takhshish tersebut di atas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
No.
Naskh
Takhshish
1
Satuan yang terdapat dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.

Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz ‘amm.
2
Naskh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.

Takhshish adalah hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3
Naskh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.

Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.

4
Naskh adanya menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah di-khususkan.

5
Setelah terjadi naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.

Adapun Bada’, menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-Khafa’ (menampakkan setelah berbunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah surat Al-Jatsiyyah ayat 33, yang artinya:
“Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang telah mereka kerjakan.”

Arti bada’ yang lain adalah “nasy’ah ra’yin jadid lam yaku maujud” (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini pun tersirat dalam firman Allah pada surat Yusuf: 35 yang artinya:
“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya samapi suatu waktu.”

Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat naskh. Dalam bada’, timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini tentu berbeda dengan naskh, sebab dalam naskh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada masnusia.


E. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar ayat adalah:
         1.         Melalui pentransmisian yang jelas (An-Naql Al-Sharih) dari Nabi atau para sahabatnnya, seperti hadits: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha : Aku (dulu) melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan Anas berkaitan dengan Ashab sumur Ma’unah: “Wa nuzilah fihim quran qaranah hata rufi’a : Untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus.”
         2.         Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
         3.         Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.

Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakanya keislaman salah seroang dari pembawa riwayat.

Persoalan naskh hanya dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari Rasulullah saw., atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh oleh yang ini. Bisa jadi, ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi pendapat kebanyakan para mufassir,  bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang sahih,  dan dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi saw. Yang dipegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, buka pendapat dan ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini, berada pada dua kutub kontradiksi; ada yang mengatakan dalam masalah naskh hadits ahad yang adil, para perawinya tidak diterima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya.


F. Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
Naskh dalam Al-Quran dibagi ke dalam empat jenis:
         1.         Naskh sharih, yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya QS Al-Anfal: 65-66 tentang perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan kafir adalah 1:10, di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya berbanding 1:2 dalam masalah yang sama.


“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar di natara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antatarmu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringakan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratu orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalhakan dua ratus orang; dan jika ada di antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah berserta orang-orang yang sabar (65).” (QS. Al-Anfal: 65-66)


         2.         Naskh dimmi, yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan denan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia menaskh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.


         3.         Naskh kulli, yaitu menasakh hukum yang datang sebelumnya secar keseluruhan. Misalnya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan iddah 4 bulan 10 hari.


“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)

         4.         Naskh juz’i yaitu menaskh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu, atau menasakh hukum yang  bersifat mutlak dengan hukum  yang bersifat mubayyad (terbatas). Misalnya:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (orang yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasiq. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah emapt kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya Dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur: 4-6)


Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa menghadirkan empat orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat An-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 yang menjelaskan bahwa jika yang menuduh itu suaminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara keduanya.


Selanjutnya naskh Al-Quran dari segi tilawah dan hukumnya terbagi menjadi tiga macam.


                                 1.         Naskh Tilawah (Bacaan) dan Hukum
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim yang lainnya dari Aisyah, ia berkata:


“Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ‘sepuluh susuan (hisapan) yang maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian (ketentuan) ini dinaskh oleh Lima susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat al-Quran yang dibaca (matlu).”

Kata Aisyah “Lima susuan ini termasuk ayat al-Quran yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karenan tidak terdapat dalam mushaf usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.


                                 2.         Naskh Hukum dan Tilawahnya Tetap
Misalnya naskh hukum ayat iddah selam satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Jenis kedua inilah pada hakikatnya sangat sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat berkenaan dengan ini. Para ulama, seperti al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi telah menjelaskan hal ini dan beliau merupakan orang yang membahas secara tuntas. Untuk jenis yang kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanyak 20 ayat yang mansukhah (dihapus) hukumnya tanpa bacaaannya. Namun demikian, beliau banyak menggunakan kata-kata qila (dikatakan), yang mengindikasikan riwayat yang lemah.


                                 3.         Naskh Tilawah dan Hukumnya Tetap
Untuk naskh macam ini contohnya ayat rajam
“Orang tua laki laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebgai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.





G. Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran

Pembahasan tentang nasikh-mansukh merupakan masalah kontroversial di kalangan para ulama. Kontroversi yang timbul bertolak dari bagaimana memahami dan mengahadapi ayat-ayat Al-Quran yang tampak saling berlawanan. Segolongan ulama berpendapat bahwa ada ayat-ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, dan dengan demikian ada naskh dalam Al-Quran.

1.      Ulama yang mengakui nasikh-mansukh

Jumhur (mayoritas) ulama mengakui adanya nasikh-mansukh, antara lain:
a.       Imam Syafi’i. Beliau mengakui adanya naskh dalam Al-Quran berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 106 dan An-Nahl: 101.

b.      Ibnu Katsir
Beliau dalam kitab tafsirnya menyatakan: “Sesungguhnya tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikenhendaki-Nya.”

c.       Musthafa Al-Maraghi
Beliau dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dengan manyatakan: “Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat.  Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keperluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”

d.      Muhammad Rasyid Ridha
Beliau dalam tafsirnya menjelaskan: “Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksan membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu."

e.       Manna Khalil al-Qattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidkak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembetukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasryri’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba-Nya.

Menurut pendukung adanya naskh, naskh dapat dilakukan jika:
1)      Terdapat dua ayat hukum yang saling berlawanan dna tidak dapat dikompromikan.
2)      Harus diakui meyakinka urutan turunnya ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun ditetapkan sebagai mansukh dan yagn kemudian sebagai nasikh.
3)      Hukum yang mansukh tidak bersifat abagi, tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang bisa di-naskh.

Ayat-ayat yang tidak bisa di-naskh adalah:
1)      Ayat-ayat yang mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya situasi dan kondisi manusia, seperti ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah, keadilan, dan amanah.

2)      Ayat-ayat yang secara tekstual menunjukan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa (abadi).

3)      Ayat-ayat yagn berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan seperti kabar tentang umat-umat terdahulu.



2.      Ulama yang menolak nasikh dan mansukh
Ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Quran antara lain:
a.       Abu Muslim al-Asfahani
b.      Imam al-Razi
c.       Muhammad Abduh
d.      Taufiq Sidqi
e.       Muhammad Khudari Bek

Alasan penolakan mereka didaskan pada ayat-ayat al-Quran yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran. Alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
1)      Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebgai argumentasi adanya naskh dalam Al-Quran, menurut mereka ditunjukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari Al-Quran yang akhirnya digantikan oleh Al-Quran. Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelum Al-Quran diganti dengan yang lebih baik, yaitu Al-Quran. Kandungan surat An-Nahl ayat 101 dilihat dari segi turunnya ditunjukan kepada orang-orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad saw karena hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran berlainan dnegan hukum-hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau Al-Quran benar-benar datang dari Allah swt., maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab-kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah swt. Menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hamba-Nya utnuk setiap zaman.

2)      Jika dalam Al-Quran ada ayat yang dimansukh, berarti di dalam Al-Quran terdapat kesalahan dan saling berlawanan, padahal Al-Quran sendiri telah menegaskan:

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangannya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42)

3)      Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam Al-Quran. Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.

Hadits-hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai penghapus ayat Al-Quran (nasikh), seperti hadits: “Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR. Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu  Majah, Al-Duruquthni, dan Ahmad bin Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan Al-Quran, dan hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum sesuatu.

4)      Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat-ayat yang mansukh. Misalnya, menurut Al-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, Al-Sayuthi menyatakan 20 ayat, sedangkan Al-Sayukani berhasil mengkrompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh Al-Suyuthi tidak dikompromikan. Sementara Al-Dahlawi (1703-1762) mengkompromikannya hinggal tinggal 5 ayat, yakni:

·         QS. Al-Baqarah: 180 oleh QS. Al-Nisa’: 11
·         QS. Al-Baqarah: 240 oleh QS. Al-Baqarah: 234
·         QS. Al-Anfal: 65 oleh QS. Al-Anfal: 66
·         QS. Al-Ahzab: 52 oleh QS. Al-Ahzab: 50
·         QS. Al-Mujadilah: 12 oleh QS. Al-Mujadilah: 13.

Ini tidak berarti ada sebagaian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat-ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif. Bahkan sebagian usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh pendukung naskh.

Karena kontroversi itu, maka jalan terbaik adalah mengkopromikan kedua kelompok ulam tersebut yaitu dengan jalan meninjau kembali pengeritan istilah naskh yang dikemukakan oleh ulama muta’akhirin sebagaimana mereka meninjau pengertian dari ulama mutakaddimin.

Untuk usaha ini, pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dapan dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolah adanya naskh dalam pengeritan “pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti al-tabdil (pengalihan atau pemindahan ayt hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dengan demikian pengertian istilah naskh adalah pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, dalam arti semua ayat Al-Quran tetap terjadi pengertian hukum bagi masyarakt tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian pengertian, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dalam pengembangan hukum Islam. Sehingga ayat-ayat hukum bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa dengan kondisi uamt Islam pada awal masa perkembangan Islam.



H. Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh
Manna’al-Qathan menyebutkan adanya empat hikmah dengan adanya ketentuan adanya naskh:
1.      Menjaga kemaslahatan hamba;
2.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia sendiri;
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus;
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sant besar manfaatnya bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (pekataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan-keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, harus mengetahui ayat psisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian.

Pembahasan konsep nasikh-mansukh ini menjadi tema sant penting dalam Ulum Al Quran tercermin dari sejumlah besar karya ulam tentang subjek ini serta berbagai riwayat dari para sahabat yang menegaskan perlunya pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Quran yang membatalkan (nasikh) yang dibatalkan (mansukh). Tanpa pengetahuan ini, Al-Quran akan tercabut dari akar historisitasnya sebagai wahyu yan turun untuk merespon situasi yang terus berubah. Karenanya, pembatalan wahyu merupakan cermin kebijaksanaan Allah dalam merespon situasi agar lebih bisa bermanfaat bagi umatnya. Kontroversi seputar ini muncul sebenarnya terkait dengan proses kompromi antar ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi, meskipun pada dasarnya ulama sepakat tentang tidak ditemukannya kontradiksi dalam Al-Quran (QS. An-Nisa: 82). Oleh karena itu, berbicara keberlakuan amandemen bagi Al-Quran sebagaimana pertanyaan di awal, sebetulnya tergantung dari keabsahan penerapan konsep nasikh-mansukh ini atas Al-Quran sendiri.



PENUTUP
Simpulan
1. Pengertian Nasikh-Mansukh
Nasikh menurut bahasa artinya sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan. Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang diganti, dihapus dan dibatalkan. Secara istilah nasikh-mansukh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syariat dengan dalil yang datang setelahnya yang menunjukkan secara jelas penghapusannya.

2. Macam-macam Nasikh-Mansukh
Macam-macam Nasikh-Mansukh menurut kitab Manna Qaththan ada 4 diantaranya yaitu:
a.    Al-Quran dengan Al-Quran
b.    Al-Quran dengan Sunah
c.    Sunnah dengan Al-Quran
d.   Sunnah dengan sunnah

3. Rukun dan Syarat Naskh
Rukunnya Naskh diantarnya adalah:
a.    Adat Naskh
b.    Nasikh
c.    Mansukh
d.   Mansukh, ‘anh

Sedangkan Syarat Naskh diantaranya adalah:
a.    Berdasarkan hukum syara’
b.    Pembatalan tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum
c.    Tuntutan naksh harus datang kemudian.

4. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
       Ø  Naskh adalah langkah mengupas atau menghilangkan hukum syariat tertentu dengan hukum syariat lainnya

       Ø  Takhsish adalah upaya membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-bagian yang ada.

       Ø  Bada’ menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-Khafa’ (menampakkan setelah berbunyi).

5. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
a.    Melalui pentransmisian yang jelas (An-Naql Al-Sharih)
b.    Melalui kesepakatan umat
c.    Melalui studi sejarah

6. Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
a.    Naskh sharih
b.    Naskh dimmi
c.    Naskh kulli
d.   Naskh juz’i

7. Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran
Dalam pendapat para ulama ini ada yang menyetujui dan yang menolak dengan alasan-alasan tertentu pada pihak masing-masing.

8. Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh
a.    Menjaga kemaslahatan hamba;
b.    Pengembangan pensyariatan hukum
c.    Menguji kualitas keimanan mukallaf
d.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.


 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Manna’. 1992. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Mu’assasah al
Risalah.
Al-Shalih. Subhi. 1985. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar. Al-‘ilm li al
Malayin.
Al-Suyuthi.1951. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut: Dar. Al-Fikr.
Anwar, Rosihon. 2013. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1972. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
Bulan Bintang.
Izzan, Ahmad. 2009. Ulumul Quran. Bandung: Tafakur.
Kamal, A. Mustofa. 2009. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Insan Media.
Shihab, M.Quraish. 1997. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.