PAPER
ULUM
AL-QURAN
“NASIKH-MANSUKH”
Untuk
memenuhi tugas Ulum Al-Quran dengan dosen:
Dr.
KH. Abdul Hamid, M.Ag.
Di
susun oleh:
Nama : Sispa Sritin Agustina
NIM : 1133070214
Jurusan
Manajemen Keuangan Syariah
Fakultas
Syariah & Hukum
UIN
Sunan Gunung Djati Bandung
2013
M / 1435 H
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya milik
Allah swt. Sang Khaliq pemilik Al-Quran yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad
saw. Sang Murobbi agung sampai akhir zaman semoga shalawat salam senantiasa
tercurah-limpahkan padanya selalu.
Dengan mengucapkan
syukur alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan Paper yang berjudul
“Nasikh-Mansukh” sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Ulum Al Quran. Penyusunan
Paper ini merupakan salah satu sarana pembelajaran bagi penulis untuk lebih meningkatkan
pengetahuan dalam ilmu-ilmu Allah yang begitu luasnya juga untuk lebih
meningkatkan kreatifitas dalam menulis karya.
Penulis sadar bahwa
Paper ini masih jauh dari kata sempurna baik itu dari segi materi ataupun
tatacara penulisannya. Untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca demi kemajuan kualitas Paper ini.
Paper ini dapat selesai
atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr. KH. Abdul Hamid, M.Ag selaku dosen guru
besar Mata Kuliah Ulum Al-Quran yang telah memotivasi penulis sehingga Paper
ini dapat terselesaikan.
Semoga dengan adanya
Paper ini, dapat meningkatkan pengetahuan, minat baca dan menulis baik bagi
penulis maupun pembaca. Merupakan suatu harapan pula, semoga Paper ini tercatat
sebagai satu amal saleh yang dapat diterima Allah swt. Aamiin.
Bandung, 5
Desember 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
ABSTRAK................................................................................................. 1
PENDAHULUAN..................................................................................... 2
A.
Latar Belakang.............................................................................. 2
B.
Rumusan Masalah.......................................................................... 3
C.
Maksud dan Tujuan....................................................................... 3
PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A.
Pengertian Nasikh-Mansukh.......................................................... 4
B.
Macam-macam Nasikh-Mansukh................................................... 7
C.
Rukun dan Syarat Naskh............................................................... 10
D.
Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’............................. 11
E.
Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh................................ 13
F.
Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh.................................................... 14
G.
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran......... 17
H.
Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh.......................................... 22
PENUTUP.................................................................................................. 23
Simpulan............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 24
ABSTAK
Lafadz nasikh terdapat
dalam Al-Quran. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut mengisyaratkan
adanya nasikh (penghapusan, pembatalan) dalam Al-Quran. Di sisi lain, Allah
menegaskan bahwa: “Seandainya Al-Quran itu datang bukan dari Allah, niscaya
mereka akan menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak
(An-Nisa: 82). Konten ayat ini diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, dan
memang demikian yang seharusnya. Namun, ulama berbeda pendapat tentang cara
menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan kontradiksi. Persoalan
inilah yang, antara lain, menjadi sebab-musabab timbulnya pembahasan tentang
nasikh wa al-mansukh.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika selalu dilakukan
amandemen terhadap UUD, apakah ada amandemen untuk Al-Quran? Inilah tema
penting yang hendak penulis bahas dalam Paper Ulum Al-Quran yang berjudul
“Nasikh-Mansukh”. Yang berarti penghapusan, pembatalan, pencabutan atau
penghilangan suatu hukum (syariat) terdahulu dengan dalil yang datang kemudian (raf’
al-syar’ hukman syar’iyyan bi dalil hukmin muta’akhirin).
Bukan karena muatannya
kontroversial dan debatable, namun memang terbukti karena posisinya
(nasikh-mansukh) mampu merespon perkembangan zaman, terutama dalam konteks
hukum Islam. Dalam memutuskan hukum halal ataupun haram dapat dengan mudah
direvisi bila dalam kondisi tertentu mendesak untuk melakukan perubahan. Keberadaan
konsep ini ditopang dengan kaidah usul fiqih: alhukm yaduuru ma’a ‘illatihi
wujuudan wa ‘adaman (hukum berlaku berdasarkan alasan pemberlakuan hukumnya). Karena
nasikh-mansukh ini hukum syariat Islam tampak dinamis dan up-to-date.
Oleh karena itu, dalam
kajian hukum Islam, nasikh-mansukh sangat dimungkinkan bahkan diperlukan
terbukti dengan banyaknya pemberlakuan hukum syariat yang bersifat sementara
yang kemudian dibatalkan oleh hukum baru yang dianggap lebih tepat. Kasus
pelegalan Al-Quran terhadap perbudakan yang kemudian dihapuskan, menjadi
indikator akan pengakuan Al-Quran terhadap konsep nasikh-mansukh ini. Demikian
pula halnya dengan kasus pengalihan arah kiblat dari Masjid Al-Aqsha ke Masjid
Al-Haram, pembolehan nikah mut’ah yang kemudian dilarang, pelarangan ziarah
kubur yang kemudian dibolehkan, dan banyak kasus lain.
Namun, konsep
naskh-mansukh akan menjadi kontroversial ketika wacananya digiring ke arah
nasikh-mansukh dalam lingkup internal Al-Quran (pembatalan satu ayat hukum oleh
ayat hukum lain), atau bahkan Al-Quran oleh hadits. Tidak seperti pembatalan
peraturan/undang-undang yang malah sangat diperlukan bila yang lama sudah tidak
lagi relavan, pembatalan di lingkungan internal Al-Quran menjadi kontroversial
karena terkait dengan kedudukan kitab suci umat Islam.
yang dianggap mutlak,
tanpa kontradiksi, tidak mengalami perubahan dan berlaku untuk segala zaman
(shalih likull zaman wa makan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas penulis menyimpulkan rumusan masalah Paper ini adalah sebagai
berikut.
1.
apakah itu sebenarnya yang dimaksud
dengan nasikh-mansukh?
2.
apa sajakah macam-macam nasikh-mansukh?
3.
apakah rukun dan syarat naskh?
4.
bagaimanakah perbedaan antara naskh,
takhsish, dan bada’?
5.
bagaimanakah dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh?
6.
apa sajakah bentuk-bentuk nasikh-mansukh?
7.
bagaimana pendapat ulama tentang nasikh-mansukh dalam al-quran?
8.
apakah saja manfaat mengetahui nasikh-mansukh
C. Maksud dan Tujuan
Tujuan penulis
menangkat tema “Nasikh-Mansukh” adalah sebagai berkut:
1. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan nasikh-mansukh.
2. Untuk
mengetahui macam-macam nasikh-mansukh.
3.
Untuk mengetahui rukun dan syarat naskh.
4.
Untuk mengetahui perbedaan antara naskh,
takhsish, dan bada’.
5.
Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh.
6.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk nasikh-mansukh.
7.
Untuk mengetahui pendapat ulama tentang nasikh-mansukh dalam al-quran.
8.
Untuk mengetahui manfaat mengetahui nasikh-mansukh.
Adapun maksud penulis
adalah semakin meningkatnya kecintaan penulis dan pembaca pada Al-Quran melalui
Paper ini serta turut dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh-Mansukh
Kata nasikh berasal dari kata naskh yang
secara etimologi mengandung beberapa arti, yaitu menghapus dan menghilangkan
(al-izalat), mengganti dan menukar (at-tabdil), memalingkan (at-tahwil) dan
menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi nasikh
adalah sesuatu yag menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak
memberlakukan. Adapun mansukh adalah
sesuatu yang dihapus, diganti dan dibatalkan atau yang tidak diberlakukan.
Sedangkan secara terminologi arti nasikh-mansukh adalah membatalkan pelaksanaan
hukum syariat dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimmi). Baik penghapusan itu secara
keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil
yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang
lebih dulu.
Di dalam Al-Quran, kata
nasikh dalam berbagai bentuknya
ditemukan sebanyak empat kali:
1.
QS. Al-Baqarah: 106
2.
QS. Al-A’raf: 154
3.
QS. Al-Hajj: 52
4.
QS. Al-Qamar: 29
Sesuatu yagn
membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh,
sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.
Pengertian naskh secara
terminologi digolongkan ke dalam dua golongan yaitu:
1.
Menurut ulama Mutaqadimin (abad ke 1
hingga abad ke 3 H) arti nasikh-mansukh dari segi terminologi mecakup:
a. Pembatalan
hukum yang ditetapkan terhadap ayat terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
b. Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusu yang datang kemudian.
c. Penjelasan
yang datang kemudian kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar).
d. Penetapan
syariat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Di samping itu ada pula
yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan ketetapan hukum yang
ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya
kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah
bersabar karena konndisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya perintah
berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum
Islam termasuk dalam pengertian naskh.
Bahkan, ada di antara
ulama yang beranggpaan bahwa sebuah ketetapan hukum yang ditetapkan dalam
kondisi tertentu menjadi mansukh bila
terdapat ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain. Misalnya,
perintah untuk bersabar, menahan diri pada periode Makkah saat kaum muslimin
masih dalam kondisi lemah dianggap telah di-nasikh-kan
oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Ada pula yang
beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan huku yang berlaku pada
masa pra-Islam merupakan bagian dri pengertian nasikh.
2.
Menurut ulama Mutaakhirin (setelah abad
3 H) mempersempit pengertian yang luas itu. Menurut mereka, naskh adalah
ketentuan hukum yang datang kemudian untuk membatalakan masa berlakunya hukum
terdahulu. Artinya, ketetapan hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan
adanya ketetapan hukum yang baru.
3.
Menurut al-Fakhruzi, Al-Quran memuat
tiga jenis nasakh.
Ø Pertama,
nasakh bacaan dan hukum. Nasakh ini tidak boleh dibaca dan tidak boleh
diamalkan karena telah di-nasakh-kan secara keseluruhan. Misalnya, ayat-ayat
tentang penyususan menjadikan ke-mahram-an seseoran gdengan sepuluh kali
penyusuan. Aisayah ra. Berkata: “Termasuk Al-Quran yang pernah diturunkan,
sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat menjadikan ke-mahram-an seseorang,
kemudian di-nasikh dengan ketentuan
lima kali menyusui yang diketahui. Maka, wafatlah Rasulullah saw., sedangkan
ketentuan masalah ini tidak termasuk dalam ayat Al-Quran yang dibaca”. Tentang
masalah ini, al-Fakhruzi berpendapat bahwa bagian pertama, yakni sepuluh kali
penyusuan dapan menjadikan ke-mahram-an seseorang. Kalimat ini dinasakhan hukum
dan bacaannya, sedangkan bagian kedua yakni lima kali penyusan di-nasakh-kan
bacaaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku.
Ø Kedua,
nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap berlaku. Sebagaimana dikatakan az-Zakasyi
dalam al-Burhan, wajib diamalkan bila diterima secara sepakat-bulat oleh umat
seperti yang tersurat dalam surat an-Nur bahwa: “Janganlah kalian membenci
bapak-bapak kalian karena itu kufur bagi kalian.” Jenis kedua ini sedikit
sekali ditemui dalam Al-Quran dan jarang sekali pula ditemukan contohnya dalam
Al-Quran karena Allah menurunkan Al-Quran untuk dibaca sebagai ibadah dan
penyusunan hukum-hukum bagi manusia.
Ø Ketiga,
nasakh hukum tetapi bacaannya tetap berlaku. Jenis ini banyak sekali ditemukan
dalam Al-Quran. Jenis inilah yang sangat dikehendaki oleh syariat Islam.
Misalnya, ayat tentang kiblat yang artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah (kiblat) Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Ayat
terebut dinasikh-kan oleh ayat yang
artinya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan-nya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:
144)
B.
Macam-macam Nasikh-Mansukh (اقسام السخ)
والنسخ اربعة اقسام:
القسم الاول: نسخ
القران بالقران : وهذاالقسم متفق على جوازه ووقوعه من القائلين بالنسخ, فاية
الاعتدادد بالحولل مثلا نسخت بايةالاعتداد باربعةاشهروعشرا, كماسيأتي في الامثلة.
القسم الثانىي: نسخ
القران بالسنة : وتحت هذا نوعان:
ا- نسخ
القران بالسنة الاحادية . ووالجمهور على عدم جوازه . لا ن القران متواتر يفيد
اليقين, والاحادي مظنو ن,ولايصح رفع المعلوم بالمظنون
ب- ونسخ
القران بالسنه اترة. وقداجازه ما لك وابوحنيفةواحمدفي رواية,لاناالكل وحي.قال تعال
(وما ينطق عن الهوى,ان هوالاوحي يوحى-النجم)وقال (وانزلنااليك الذكرلتبين للناس
مانزل اليهم 44: النحل) والنسخ نوع من البيان – ومنعه الشا فعي واهل الظا
هرواحمدفي الروايةالاخرى,لقوله تعال (ماننسخ منايةاوننسهانأت بخيرمنهاأومثلها 102-
البقره) والسنلة ليست خيرامن القران ولامثله.
القسم الثالث :
نسخ السنة بالقران , ويجيزه الجمهور,فالتوجه الى بيت المقد س كان ثابتابالسنة,
وليس في القران يدل عليه, وقد نسخ بل لقران في قوله (فول وجهك شطرالمسجدالحرام 44-
البقروة) ووجوب صوم يوم عاشوراء, كان ءابتابالسنة ونسخ بقوله (فمن شهدمنكم
الشهرفليصمه 185-البقرة) (ا) ومنع هذاالقسم
الشافعي في احد ى روايتيه , وقال : "وحيث وقع بالسنة فمعها قران, اوبالقران
فمعه سنة عاضده تبين توافق الكتاب والسنة"(2)
القسم الرابع :
نسخ السنة : وتحت هذااربعة انواع : 1- نسخ متواترةبمتلواترة 2 - ونسخ احادباحاد 3- ونسخ احادبمتواترة 4- ونسخ متواترةباحاد – والئلائةالاولى جائزة –
اماالنوعالرابع ففيه الحلاف الواردفي نسخ القران بالسنة الاحادية, والجمهورعل عدم
جوازه.
امانسخ كل من الاجماع والقياس والنسخ بهما فالصحيح عدم جوازه.
artinya:
1. Al-Quran
dengan Al-Quran
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi
dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang
iddah empat bulan sepuluh hari. Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antaramu dan meninggakan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jiika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang
ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.
Al-Baqarah: 240).
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) emapat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa
iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui pa yang kamu perbuat.” (QS.
Al-Baqarah: 234).
Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam,
sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak
keluar dari rumah suami dan tidak kawain lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan
dengan masalah iddah. Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua
ayat itu.
2. Al-Quran
dengan Sunah
Naskh ini ada dua macam
yaitu:
a. Naskh
Al-Quran dengan Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Quran
tidak boleh di-naskh oleh hadits ahad, karena Al-Quran adalah mutawatir,
sedangkan hadits ahad bersifat dzanni (dugaan). Disamping itu tidak sah pula
menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun
(diduga).
b. Naskh
Al-Quran dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya
adalah wahyu dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
“ Keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu
menerangkan kepat umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
4.
Sunnah dengan Al-Quran
Naskh
ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis
yang ditetapkan yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al-Quran tidak
terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapn itu dinaskh oleh Al-Quran dengan
firmannya:
“Sungguh
kami (sering) melihat mukamu menengadah
ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai.
Pelingkanlah
mukamu ke arah masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
masjidil haram itu adalh benar dari Tuhannya dan Allah sesekali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144)
5.
Sunnah dengan sunnah
Naskh
dalam kategori ini terdapat emapt bentuk:
a. Sunnah
mutawatir dengan sunnah mutawatir;
b. Sunnah
ahad dengan sunnah ahad;
c. Sunnah
ahad dengan mutawatir;
d. Sunnah
mutawatir dengan sunnah ahad;
Bentuk
a, b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti
halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur
ulama.
C.
Rukun dan Syarat Naskh
1.
Adat Naskh, adalah pernyataan yang
menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.
Nasikh,
yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena
Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menhapuskannya.
3.
Mansukh,
yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh
‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun
syarat-syarat naskh adalah:
1.
Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.
Pembatalan itu datangnya dari tuntutan
syara’.
3.
Pembatalan huku tidak disebabkan oleh
berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban
berpuasa tidak berarti di-naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.
Tuntutan yang mengandung naskh harus
datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang
tidak menerima nasakh, yaitu:
1.
Seluruh khabar/aqidah baik dalam
Al-Quran maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan Khabar
itu sendiri, sedangkan Al-Quran dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2.
Hukum-hukum yang disyariatkan secara
abadi.
D.
Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
Terdapat perbedaan
diametral antara Ibnu Katsir, Al-Maraghi dan Abu Muslim Al-Ashfahani dalam
memandang persoalan naskh. Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya
pembatalan hukum dalam Al-Quran. Namun, dengan tegas, Al-Ashfahani menyatakan
bahwa Al-Quran tidak pernah disentuh “pembatalan”. Meskipun demikian, pada
umumnya, dia sepakat tentang:
1.
Adanya pengecualian hukum yang bersifat
umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
2.
Adanya penjelasan susulan terhadap hukum
terdahulu yang ambigus;
3.
Adanya penetapan syarat terdapat hukum
yang terdahulu yang belum bersyarat;
Ibnu Katsir dan
Al-Maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan Al-Ashfahani
memandangnya sebagai takhsish. Tampaknya, Al-Ashfani menegaskan pendapatnya
bahwa tidak ada naskh dalam Al-Quran. Kalaupun di dalam Al-Quran terdapat
cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan
proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat
diartikan sebagai “mengeluarkan sebahagian satuan (afrad) dari satuan-satuan
yang tercakup dalam lafadz ‘amm.
Bertolak dari
pengertian naskh dan takhshish tersebut di atas, perbedaan prinsipil antara
keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
No.
|
Naskh
|
Takhshish
|
1
|
Satuan
yang terdapat dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
|
Satuan
yang terdapat dalam takhshish merupakan sebagian dari satuan yang terdapat
dalam lafadz ‘amm.
|
2
|
Naskh
adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
|
Takhshish
adalah hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
|
3
|
Naskh
hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.
|
Takhshish
dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan
mendahuluinya.
|
4
|
Naskh
adanya menghapuskan hubungan mansukh
dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
|
Takhshish
tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun
sudah di-khususkan.
|
5
|
Setelah
terjadi naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
|
Setelah
terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh
dalil ‘amm.
|
Adapun Bada’, menurut
sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-Khafa’
(menampakkan setelah berbunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah surat
Al-Jatsiyyah ayat 33, yang artinya:
“Dan nyatalah bagi
mereka keburukan-keburukan apa yang telah mereka kerjakan.”
Arti bada’ yang lain
adalah “nasy’ah ra’yin jadid lam yaku maujud” (munculnya pemikiran baru setelah
sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini pun tersirat dalam firman Allah pada
surat Yusuf: 35 yang artinya:
“Kemudian timbul
pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka
harus memenjarakannya samapi suatu waktu.”
Dari kedua definisi
tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan
hakikat naskh. Dalam bada’, timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh
ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Ini
tentu berbeda dengan naskh, sebab dalam naskh, bagi ulama yang mengakui
keberadaannya, Allah mengetahui nasikh
dan mansukh sejak zaman azali,
sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada masnusia.
E.
Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan
menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar ayat
adalah:
1.
Melalui pentransmisian yang jelas
(An-Naql Al-Sharih) dari Nabi atau para sahabatnnya, seperti hadits: “Kuntu
naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha : Aku (dulu) melarang kalian
berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan Anas berkaitan
dengan Ashab sumur Ma’unah: “Wa nuzilah fihim quran qaranah hata rufi’a : Untuk
mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus.”
2.
Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.
Melalui studi sejarah, mana ayat yang
lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan
bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan
melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara
beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakanya keislaman salah
seroang dari pembawa riwayat.
Persoalan naskh hanya
dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari Rasulullah saw., atau
dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh oleh yang ini.
Bisa jadi, ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti,
dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun
dan yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi pendapat
kebanyakan para mufassir, bahkan tidak
diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang sahih, dan dan sanggahan yang jelas, sebab naskh
mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada
masa Nabi saw. Yang dipegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, buka
pendapat dan ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini, berada pada dua kutub
kontradiksi; ada yang mengatakan dalam masalah naskh hadits ahad yang adil,
para perawinya tidak diterima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal
ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah
pendapat yang bertentangan dengan keduanya.
F.
Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
Naskh dalam Al-Quran
dibagi ke dalam empat jenis:
1.
Naskh sharih, yaitu ayat-ayat yang
secara tegas menghapuskan hukum yang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnya QS
Al-Anfal: 65-66 tentang perang yang mengharuskan perbandingan antara muslim dan
kafir adalah 1:10, di-naskh dengan ayat yang mengharuskan hanya berbanding 1:2
dalam masalah yang sama.
“Hai
Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh
orang yang sabar di natara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antatarmu, mereka dapat
mengalahkan seribu dari pada orang orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu
kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringakan kepadamu dan Dia
telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratu
orang yang sabar niscaya mereka dapat mengalhakan dua ratus orang; dan jika ada
di antaramu seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah berserta orang-orang yang sabar (65).”
(QS. Al-Anfal: 65-66)
2.
Naskh dimmi, yaitu bila ada ketentuan
hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan denan ketentuan hukum ayat
yang datang kemudian dan ia menaskh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang
kewajiban wasiat kepada ahli ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
3.
Naskh kulli, yaitu menasakh hukum yang
datang sebelumnya secar keseluruhan. Misalnya ketentuan hukum iddah satu tahun
bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang di-naskh dengan iddah 4
bulan 10 hari.
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)
4.
Naskh juz’i yaitu menaskh hukum yang
mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu, atau
menasakh hukum yang bersifat mutlak
dengan hukum yang bersifat mubayyad
(terbatas). Misalnya:
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (orang yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera. Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasiq. Kecuali orang-orang yang
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina),
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu adalah emapt kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya Dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur: 4-6)
Ayat
ini menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita berzina tanpa
menghadirkan empat orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat
An-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 yang menjelaskan bahwa jika yang menuduh
itu suaminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah
antara keduanya.
Selanjutnya
naskh Al-Quran dari segi tilawah dan hukumnya terbagi menjadi tiga macam.
1.
Naskh Tilawah (Bacaan) dan Hukum
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh
Muslim yang lainnya dari Aisyah, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau
adalah ‘sepuluh susuan (hisapan) yang maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian
(ketentuan) ini dinaskh oleh Lima susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah
wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat al-Quran yang dibaca (matlu).”
Kata Aisyah “Lima susuan ini termasuk
ayat al-Quran yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih
tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karenan tidak terdapat dalam mushaf
usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan
Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
2.
Naskh Hukum dan Tilawahnya Tetap
Misalnya naskh hukum ayat iddah selam
satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Jenis kedua inilah pada hakikatnya sangat
sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat berkenaan dengan
ini. Para ulama, seperti al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi telah menjelaskan hal
ini dan beliau merupakan orang yang membahas secara tuntas. Untuk jenis yang
kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanyak 20 ayat yang mansukhah (dihapus) hukumnya tanpa bacaaannya. Namun demikian,
beliau banyak menggunakan kata-kata qila (dikatakan), yang mengindikasikan
riwayat yang lemah.
3.
Naskh Tilawah dan Hukumnya Tetap
Untuk naskh macam ini contohnya ayat
rajam
“Orang tua laki laki dan perempuan
apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebgai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
G.
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran
Pembahasan tentang nasikh-mansukh merupakan
masalah kontroversial di kalangan para ulama. Kontroversi yang timbul bertolak
dari bagaimana memahami dan mengahadapi ayat-ayat Al-Quran yang tampak saling
berlawanan. Segolongan ulama berpendapat bahwa ada ayat-ayat yang bertentangan
dan tidak bisa dikompromikan, dan dengan demikian ada naskh dalam Al-Quran.
1.
Ulama yang mengakui nasikh-mansukh
Jumhur
(mayoritas) ulama mengakui adanya nasikh-mansukh, antara lain:
a. Imam
Syafi’i. Beliau mengakui adanya naskh dalam Al-Quran berdasarkan firman Allah
dalam QS. Al-Baqarah: 106 dan An-Nahl: 101.
b. Ibnu
Katsir
Beliau dalam kitab tafsirnya menyatakan:
“Sesungguhnya tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh dalam
hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendak-Nya dan
melakukan apa saja yang dikenhendaki-Nya.”
c. Musthafa
Al-Maraghi
Beliau dalam kitab tafsirnya melihat
adanya hikmah keberadaan naskh dengan manyatakan: “Sesungguhnya hukum-hukum itu
tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda
karena berbeda waktu dan tempat. Jika
suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian
keperluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum
itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan
demikian hukum menjadi lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat
untuk hamba-hamba Allah.”
d. Muhammad
Rasyid Ridha
Beliau dalam tafsirnya menjelaskan:
“Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan
lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu
karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada
waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksan membatalkan hukum itu dan menggantikannya
dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu."
e. Manna
Khalil al-Qattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa
apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidkak cocok lagi pada
masa yang lain. Perjalan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembetukan tidak
sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan.
Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah
tasyri’ pada periode yang lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah
menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasryri’ yang lain untuk menjaga kepentingan
para hamba-Nya.
Menurut pendukung adanya naskh, naskh
dapat dilakukan jika:
1) Terdapat
dua ayat hukum yang saling berlawanan dna tidak dapat dikompromikan.
2) Harus
diakui meyakinka urutan turunnya ayat ayat tersebut, yang lebih dahulu turun
ditetapkan sebagai mansukh dan yagn
kemudian sebagai nasikh.
3) Hukum
yang mansukh tidak bersifat abagi,
tetapi bersifat sementara. Karena itu hanya ayat-ayat tertentu yang bisa
di-naskh.
Ayat-ayat
yang tidak bisa di-naskh adalah:
1) Ayat-ayat
yang mengandung hukum pokok yang tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya
situasi dan kondisi manusia, seperti ayat yang berkaitan dengan akidah, ibadah,
keadilan, dan amanah.
2) Ayat-ayat
yang secara tekstual menunjukan ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa
(abadi).
3) Ayat-ayat
yagn berisi berita yang tidak mengandung perintah dan larangan seperti kabar
tentang umat-umat terdahulu.
2.
Ulama yang menolak nasikh dan mansukh
Ulama
yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Quran antara lain:
a. Abu
Muslim al-Asfahani
b. Imam
al-Razi
c. Muhammad
Abduh
d. Taufiq
Sidqi
e. Muhammad
Khudari Bek
Alasan penolakan mereka
didaskan pada ayat-ayat al-Quran yang sama yang dikemukakan oleh kelompok
pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran. Alasan-alasan mereka adalah
sebagai berikut:
1)
Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang
oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebgai argumentasi adanya naskh dalam
Al-Quran, menurut mereka ditunjukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari
Al-Quran yang akhirnya digantikan oleh Al-Quran. Artinya hukum-hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab suci sebelum Al-Quran diganti dengan yang lebih
baik, yaitu Al-Quran. Kandungan surat An-Nahl ayat 101 dilihat dari segi
turunnya ditunjukan kepada orang-orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan
Muhammad saw karena hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran berlainan dnegan
hukum-hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau Al-Quran benar-benar
datang dari Allah swt., maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab-kitab
sebelumnya. Untuk itulah Allah swt. Menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang
maslahat buat hamba-hamba-Nya utnuk setiap zaman.
2)
Jika dalam Al-Quran ada ayat yang dimansukh, berarti di dalam Al-Quran
terdapat kesalahan dan saling berlawanan, padahal Al-Quran sendiri telah
menegaskan:
“Yang
tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangannya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
(QS. Fushilat: 42)
3)
Rasulullah sendiri tidak pernah
mengatakan adanya naskh dalam Al-Quran. Seandainya ada, sudah tentu ia akan
menjelaskannya.
Hadits-hadits
yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai penghapus ayat Al-Quran (nasikh), seperti hadits: “Tidak ada
wasiat bagi penerima waris” (HR. Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, An-Nasa’i,
Ibnu Majah, Al-Duruquthni, dan Ahmad bin
Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat
dengan Al-Quran, dan hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam
menetapkan hukum sesuatu.
4)
Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak
ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat-ayat yang mansukh. Misalnya, menurut Al-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, Al-Sayuthi menyatakan 20 ayat,
sedangkan Al-Sayukani berhasil mengkrompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh
Al-Suyuthi tidak dikompromikan. Sementara Al-Dahlawi (1703-1762)
mengkompromikannya hinggal tinggal 5 ayat, yakni:
·
QS. Al-Baqarah: 180 oleh QS. Al-Nisa’:
11
·
QS. Al-Baqarah: 240 oleh QS. Al-Baqarah:
234
·
QS. Al-Anfal: 65 oleh QS. Al-Anfal: 66
·
QS. Al-Ahzab: 52 oleh QS. Al-Ahzab: 50
·
QS. Al-Mujadilah: 12 oleh QS.
Al-Mujadilah: 13.
Ini
tidak berarti ada sebagaian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang
bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh
ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan
mereka dalam mengkompromikan ayat-ayat yang oleh pendukung naskh dinilai
kontradiktif. Bahkan sebagian usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh
pendukung naskh.
Karena
kontroversi itu, maka jalan terbaik adalah mengkopromikan kedua kelompok ulam
tersebut yaitu dengan jalan meninjau kembali pengeritan istilah naskh yang
dikemukakan oleh ulama muta’akhirin sebagaimana mereka meninjau pengertian dari
ulama mutakaddimin.
Untuk
usaha ini, pemikiran Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dapan
dijadikan sebagai titik tolak. Ia menolah adanya naskh dalam pengeritan
“pembatalan”, tetapi ia dapat menerima dalam arti al-tabdil (pengalihan atau
pemindahan ayt hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dengan demikian
pengertian istilah naskh adalah pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, dalam
arti semua ayat Al-Quran tetap terjadi pengertian hukum bagi masyarakt tertentu
karena adanya kondisi yang berbeda. Namun demikian pengertian, ayat hukum yang
tidak berlaku bagi masyarakat dalam satu kondisi dapat berlaku bagi masyarakat
lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan
sangat membantu dalam pengembangan hukum Islam. Sehingga ayat-ayat hukum
bertahap tetap dapat diberlakukan oleh mereka yang kondisinya sama atau serupa
dengan kondisi uamt Islam pada awal masa perkembangan Islam.
H.
Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh
Manna’al-Qathan
menyebutkan adanya empat hikmah dengan adanya ketentuan adanya naskh:
1.
Menjaga kemaslahatan hamba;
2.
Pengembangan pensyariatan hukum sampai
pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi
manusia sendiri;
3.
Menguji kualitas keimanan mukallaf
dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus;
4.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Sebab apabila ketentuan nasikh
lebih berat daripada ketentuan mansukh,
berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan
dalam nasikh lebih mudah daripada
ketentuan dalam nasikh lebih mudah
daripada ketentuan mansukh, itu
berarti kemudahan bagi umat.
Pengetahuan
tentang nasikh dan mansukh sant besar manfaatnya bagi para
ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang
hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (pekataan
sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus
mengetahui keterangan-keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya, harus mengetahui ayat psisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih
dahulu dan datang kemudian.
Pembahasan
konsep nasikh-mansukh ini menjadi tema sant penting dalam Ulum Al Quran tercermin
dari sejumlah besar karya ulam tentang subjek ini serta berbagai riwayat dari
para sahabat yang menegaskan perlunya pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Quran
yang membatalkan (nasikh) yang
dibatalkan (mansukh). Tanpa
pengetahuan ini, Al-Quran akan tercabut dari akar historisitasnya sebagai wahyu
yan turun untuk merespon situasi yang terus berubah. Karenanya, pembatalan
wahyu merupakan cermin kebijaksanaan Allah dalam merespon situasi agar lebih
bisa bermanfaat bagi umatnya. Kontroversi seputar ini muncul sebenarnya terkait
dengan proses kompromi antar ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala
kontradiksi, meskipun pada dasarnya ulama sepakat tentang tidak ditemukannya
kontradiksi dalam Al-Quran (QS. An-Nisa: 82). Oleh karena itu, berbicara
keberlakuan amandemen bagi Al-Quran sebagaimana pertanyaan di awal, sebetulnya
tergantung dari keabsahan penerapan konsep nasikh-mansukh ini atas Al-Quran sendiri.
PENUTUP
Simpulan
1. Pengertian Nasikh-Mansukh
Nasikh
menurut bahasa artinya sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan.
Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang diganti, dihapus dan dibatalkan. Secara
istilah nasikh-mansukh adalah
membatalkan pelaksanaan hukum syariat dengan dalil yang datang setelahnya yang
menunjukkan secara jelas penghapusannya.
2. Macam-macam Nasikh-Mansukh
Macam-macam Nasikh-Mansukh menurut kitab Manna Qaththan ada 4 diantaranya
yaitu:
a. Al-Quran
dengan Al-Quran
b. Al-Quran
dengan Sunah
c. Sunnah
dengan Al-Quran
d. Sunnah
dengan sunnah
3. Rukun dan Syarat Naskh
Rukunnya Naskh diantarnya adalah:
a. Adat
Naskh
b.
Nasikh
c. Mansukh
d. Mansukh,
‘anh
Sedangkan
Syarat Naskh diantaranya adalah:
a. Berdasarkan
hukum syara’
b. Pembatalan
tidak
disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum
c. Tuntutan
naksh harus
datang kemudian.
4. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’
Ø Naskh
adalah langkah mengupas atau menghilangkan hukum syariat tertentu dengan hukum
syariat lainnya
Ø Takhsish
adalah upaya membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-bagian yang ada.
Ø Bada’
menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah azh-zhuhur ba’da Al-Khafa’
(menampakkan setelah berbunyi).
5. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
a. Melalui
pentransmisian yang jelas (An-Naql Al-Sharih)
b. Melalui
kesepakatan umat
c. Melalui
studi sejarah
6. Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
a. Naskh
sharih
b. Naskh
dimmi
c. Naskh
kulli
d. Naskh
juz’i
7. Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran
Dalam pendapat para ulama ini ada yang
menyetujui dan yang menolak dengan alasan-alasan tertentu pada pihak
masing-masing.
8. Manfaat Mengetahui Nasikh-Mansukh
a. Menjaga
kemaslahatan hamba;
b.
Pengembangan pensyariatan hukum
c.
Menguji kualitas keimanan mukallaf
d.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qathan, Manna’. 1992. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Beirut:
Mu’assasah al
Risalah.
Al-Shalih. Subhi. 1985. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut:
Dar. Al-‘ilm li al
Malayin.
Al-Suyuthi.1951. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.Beirut: Dar. Al-Fikr.
Anwar, Rosihon. 2013. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1972. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta:
Bulan Bintang.
Izzan, Ahmad. 2009. Ulumul Quran.
Bandung: Tafakur.
Kamal, A. Mustofa. 2009. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Insan
Media.
Shihab, M.Quraish. 1997. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.