Catatan Harian Prodi Manajemen Keuangan Syariah (MKS)
Ini adalah posting tugas-tugas yang telah dikerjakan. Baik berupa makalah, artikel, dan lain sebagainya. Tidak diajukan sebagai referensi utama, hanya sebagai pengenalan beberapa matakuliah di kurikulum 2013 Manajemen Keuagan Syariah. Semoga bermanfaat, mohon maaf apabila terdapat banyak kekeliruan.
Senin, 27 Maret 2017
penjelasan tentang 4 metode bahan menurun dan contohkan salah satu barangnya
Buat penjelasan tentang 4 metode bahan menurun dan contohkan salah satu barangnya!
1. Metode Jumlah Angka Tahun merupakan suatu metode penyusutan yang dipercepat yaitu sesuai pertimbangan bahwa biaya pemeliharaan dan perbaikan akan meningkat dengan bertambahnya usia aset tetap. Dengan kata lain, suatu bilangan pecahan yang semakin lama semakin kecil. Apabila umur aktiva sama dengan 4 tahun maka penyebut angka pecahannya adalah jumlah angka tahun yaitu 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Angka pembilang pada tahun pertama sampai dengan keempat masing-masing adalah 4,3,2, dan 1. Tarif penyusutan tahun pertama adalah 4/10, tahun kedua 3/10, tahun ketiga 2/10 dan tahun keempat 1/10.
Contoh : Kendaraan (mobil/motor/mobil pengangkut)
2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method) merupakan bentuk yang popular untuk mempercepat depresiasi. Tingkat yang digunakan yaitu satu kali dari tingkat yang digunakan oleh metode garis lurus.
Contoh : Mesin
3. Metode Saldo Menurun Ganda (Double Declining Balance Method) merupakan saldo menurun yang menggunakan tarip penyusutan dua kali dari yang digunakan metode garis lurus. Perhitungan saldo menurun ganda tidak mempertimbangkan nilai sisa dalam penyusutan setiap periode Namun, jika nilai buku akan jatuh di bawah nilai sisa, periode terakhir mungkin disesuaikan sehingga berakhir pada nilai sisa. Ketika metode saldo menurun ganda tidak sepenuhnya terdepresiasi aset pada akhir hidupnya, keseimbangan menurun variable metode yang dapat digunakan sebagai gantinya
Contoh : Komputer (bagi perusahaan rental komputer)
4. Metode Tarif Menurun merupakan metode dengan penurunan tarif (%) setiap periode dilakukan tanpa menggunakan dasar yang pasti, tapi ditentukan berdasarkan kebijaksanaan masing-masing perusahaan.
Contoh : Hak cipta
MEMBUAT LAPORAN RUGI/LABA BERDASARKAN TRANSAKSI
Habib mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama
“Habib Agency” pada tanggal 1 Februari 2014. Transaksi selam satu bulan pertama
kegiatannya adalah sebagai berikut.
1.
Perusahaan membayar sewa ruko
Rp4.500.000,00 untuk bulan pertama.
2.
Menerima uang dari jasa yang diberikan
sebesar Rp46.000.000,00.
3.
Membeli perlengkapan dari toko Sinar
secara tunai sebesar Rp2.100.000,00.
4.
Menerima uang dari para langganan
untuk jasa yang diberikan sebesar Rp22.500.000,00.
5.
Membeli perlengkapan dari toko Maju
secara kredit sebasar Rp7.500.000,00.
6.
Perlengkapan yang terpakai sebesar
Rp6.000.000,00.
7.
Membayar gaji pegawai Rp6.000.000,00.
8.
Menerima pinjaman dari bank sebesar
Rp12.000.000,00.
9.
Membayar kepada bank sebesar
Rp12.150.000,00 untuk pinjaman yang diberikan berikut bunganya.
10.
Membayar biaya keamanan sebesar
Rp30.000,00.
11.
Mengisi training kepemimpinan
Rp500.000,00.
HABIB AGENCY
LAPORAN RUGI/LABA
Periode Februari 2014
Penghasilan-penghasilan:
Hasil usaha
bersih ................................................................Rp69.000.000,00
Pendapatan
lain-lain .............................................................Rp 500.000,00 (+)
Biaya-biaya:
Biaya
usaha................................Rp14.500.000,00
Biaya di luar
usaha.....................Rp
30.000,00
Jumlah
biaya.........................................................................Rp14.530.000,00
(-)
Laba
bersih..........................................................................Rp54.970.000,00
|
CONTOH JURNAL TRANSAKSI
Transaksi
dan Jurnal Reidza Matrial
Periode
Februari 2014
1. Pada tanggal 1
Februari, Tuan Reidza mengatur uang pribadi ke dalam perusahaannya sebagai
modal awal usaha matrial sebesar Rp100.000.000,00.
JURNAL
1 Feb 2014
|
Kas
|
Rp100.000.000,00
|
1 Feb 2014
|
Modal
|
Rp100.000.000,00
|
2. Tanggal 2
Februari menyewa ruko untuk tempat penjualan Rp2.400.000,00 untuk satu tahun
pertama secara tunai.
JURNAL
2 Feb 2014
|
Sewa dibayar di muka
|
Rp2.400.000,00
|
2 Feb 2014
|
Kas
|
Rp2.400.000,00
|
3. Tanggal 3 Februari
menyewa angkutan barang yang dibayar per minggu yaitu Rp300.000,00.
JURNAL
3 Feb 2014
|
Peralatan
|
Rp300.000,00
|
3 Feb 2014
|
Kas
|
Rp300.000,00
|
4. Tanggal 4
Februari ada pemesanan pasir dari Bapak Cahyadi sebanyak 103 (1
truk) seharga Rp7.000.000,00.
JURNAL
4 Feb 2014
|
Kas
|
Rp7.000.000,00
|
4 Feb 2014
|
Pendapatan
|
Rp7.000.000,00
|
5. Tanggal 5
Februari membeli persediaan barang jualan berupa cat, semen, dsb. Seharga
Rp5.000.000,00.
JURNAL
5 Feb 2014
|
Persediaan
|
Rp5.000.000,00
|
5 Feb 2014
|
Kas
|
Rp5.000.000,00
|
6. Pada tanggal 9
Februari menggaji karyawan baru untuk 2 minggu pertama yang dibayar di muka
kepada Risman dan Rohmah sebesar Rp1.000.000,00 untuk berdua.
JURNAL
9 Feb 2014
|
Upah
|
Rp1.000.000,00
|
9 Feb 2014
|
Kas
|
Rp1.000.000,00
|
7. Pada tanggal 10
Februari membayar infak ke Ibu Raisa, DKM Mesjid, sebesar Rp25.000,00 untuk
acara pengajian bulanan.
JURNAL
10 Feb 2014
|
Beban di luar usaha
|
Rp25.000,00
|
10 Feb 2014
|
Kas
|
Rp25.000,00
|
8. 11 Februari di
beli bata sebanyak 1000 batang dengan Rp1.000,00 per batangnya.
JURNAL
11 Feb 2014
|
Kas
|
Rp1.000.000,00
|
11 Feb 2014
|
Pendapatan
|
Rp1.000.000,00
|
9. 12 Februari
membayar biaya andministrasi bank ke bank MKS Rp15.000,00 per bulan untuk bulan
Februari.
JURNAL
12 Feb 2014
|
Beban usaha
|
Rp15.000,00
|
12 Feb 2014
|
Kas
|
Rp15.000,00
|
10. 14 Februari
membeli kado untuk pernikahan Resa berupa perlengkapan bayi Rp150.000,00.
JURNAL
14 Feb 2014
|
Beban di luar usaha
|
Rp150.000,00
|
14 Feb 2014
|
Kas
|
Rp150.000,00
|
11. 15 Februari dibeli keramik oleh Nona Sispa
sebanyak 20 dus, dengan harga Rp50.000,00 secara kredit.
JURNAL
15 Feb 2014
|
Piutang
|
Rp1.000.000,00
|
15 Feb 2014
|
Persediaan
|
Rp1.000.000,00
|
12. Pada tanggal 17
Februari membeli etalase kepada Shinta Alumunium secara tunai seharga
Rp1.000.000,00
JURNAL
17 Feb 2014
|
Perlengkapan
|
Rp1.000.000,00
|
17 Feb 2014
|
Persediaan
|
Rp1.000.000,00
|
13. Pada tanggal 20 Februari membeli mobil
pick up secont kepada ibu Raisa seharga Rp30.000.000,00 secara kredit.
JURNAL
20 Feb 2014
|
Perlengkapan
|
Rp30.000.000,00
|
20 Feb 2014
|
Utang usaha
|
Rp30.000.000,00
|
14. Pada tanggal 25 Februari membeli rumah di
daerah lembang kepada Tn. Shodiqin seharga Rp150.000.000,00 secara kredit
selama 2 tahun.
JURNAL
25 Feb 2014
|
Beban di luar usaha
|
Rp150.000.000,00
|
25 Feb 2014
|
Utang di luar usaha
|
Rp150.000.000,00
|
PERBEDAAN PENJURNALAN METODE PERIODIK DAN PERPETUAL
1. Perbedaan penjurnalan metode periodik
dan perpetual!
No.
|
Metode Perodik
|
Metode Perpetual
|
1.
|
Menghitung jumlah
persediaan di akhir suatu periode untuk melakukan pembukuannya.
|
Setiap persediaan yang masuk dan keluar dicatat di
pembukuan.
|
2.
|
Metode Periodik tidak mencatat HPP saat transaksi
penjualan.
|
Metode Perpetual melakukan pencatatan aktivitas keluar
masuk persediaan dan HPP ketika transaksi penjualan.
|
3.
|
Periodik, pencatatan hanya
dilakukan saat pembelian, pencatatan HPP dilakukan nanti di akhir periode
yang ditentukan (bulanan, triwulan, semester atau tahunan) perusahan,
sehingga lebih cepat dan ringkas dalam membukukan Penjualan.
|
Dengan Perpetual kita bisa
mengatahui posisi nilai persediaan kapan saja, karena selalu di
bukukan/dijurnal setiap ada aktivitas keluar masuk.
|
4.
|
Pencatatan dilakukan
setiap transaksi dilakukan.
|
Pencatatan dilakukan
dengan pengecekan fisik persediaan saat periode tertentu.
|
MANFAAT LAPORAN KEUANGAN
Bagi pemerintah, laporan keuangan
digunakan untuk menentukan pajak perusahaan, perhitungan pendapatan nasional,
juga untuk kebijakan lainnya. Misalnya suatu bank karena mengalami kredit macet
melebihi 20% apakah akan di liquidasi atau diakuisisi.
Bagi Investor, laporan keuangan
dibutuhkan sebagai informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli,
menahan atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada
informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk
membayar dividen.
Bagi kreditur, laporan keuangan berfungsi
sebagai bahan pertimbangan pemberian modal kredit, baik besar kecilnya maupun
pertimbangan jangka waktunya.
Bagi masyarakat, laporan keuangan dapat membantu masyarakat
dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan
perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.
Bagi pelanggan, laporan keuangan berfungsi
sebagai bahan pertimbangan menjadi konsumen tetap (member) melihat keberlangsungan
perusahaan. Contoh: menjadi member Alfa mart.
Bagi karyawan, laporan keuangan berfungsi
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun
dan kesempatan kerja.
Bagi bursa efek, laporan keuangan dapat membantu
untuk menentukan harga saham perusahaan tersebut.
SUKUK
Tugas Individu
1133070214
Sispa Sritin Agustina (MKS 3 E)
Pertanyaan : Apa
itu sukuk?
Jawaban :
Sukuk (bahasa Arab: صكوك, bentuk jamak dari صك Shak, "instrumen legal, amal, cek") adalah
istilah dalam bahasa Arab yang digunakan untuk obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.
Dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan sukuk sebagai surat berharga
jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan
emiten membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil
margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh
tempo.[1]
Sukuk dapat pula
diartikan dengan Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang
bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak
terbagi atas:
1. Kepemilikan aset
berwujud tertentu.
2. Nilai manfaat dan
jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
3. Kepemilikan atas aset
proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
tanggal 29 Maret 2011.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sukuk).
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA DAN KAJIANNYA DALAM EKONOMI ISLAM
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
DAN KAJIANNYA DALAM EKONOMI ISLAM
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan
MAKALAH
Dosen Mata Kuliah :
NENENG HARTATI, S.E., M.M.
Oleh:
KELOMPOK 4
Nama : Rani Mardiani Sani
NIM : 1133070182
Nama : Ratih
NIM : 1133070183
|
Nama : Sihabudin Ali Khoer
NIM : 1133070211
Nama : Sispa Sritin Agustina
NIM : 1133070214
|
MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M/1435 H
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat
Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pajak Bumi dan
Bangunan di Indonesia dan Kajiannya Dalam Ekonomi Islam”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan
kepada murobbi sepanjang masa, Nabi
Muhammad saw., yang telah
memberikan motivasi melalui kisah inspiratif yang menggugah dan menjadi teladan untuk kehidupann sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari
dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Neneng Hartati, S.E. M.M. selaku dosen mata kuliah Perpajakan yang
telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih juga
kepada kepada sahabat
seperjuangan Manajemen Keuangan
Syariah 3 – E yang mendukung dan
mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun
penulis harapkan demi kesempurnaan penulisannya dimasa yang akan datang. Demikianlah, semoga bermanfaat bagi semua
pihak.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Bandung, 11 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
COVER................................................................................................................ 1
KATA
PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR
ISI....................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 4
A.
Latar Belakang Masalah............................................................................ 4
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 7
A.
Pengertian PBB......................................................................................... 7
B.
Objek Pajak............................................................................................... 8
C.
Subjek dan Wajib Pajak............................................................................ 10
D.
Cara Menghitung PBB.............................................................................. 12
E.
Dasar Pengenaan PBB.............................................................................. 13
F.
Dasar Hukum Pajak................................................................................... 14
G.
Tata Cara Penagihan dan Pembayaran Pajak ........................................... 15
H.
NJOP dan NJOPTKP................................................................................ 18
I.
Tarif Pajak................................................................................................. 20
J.
SPOP, SPPT dan SKP............................................................................. 21
K.
PBB Menurut Syariah.............................................................................. 25
L.
Tinjauan Ekonomi Islam terhadap PBB.................................................... 26
BAB III PENUTUP............................................................................................ 42
A.
Simpulan.................................................................................................... 42
B.
Saran.......................................................................................................... 43
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 44
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pajak merupakan pemsukan negara terbesar di
bandingkan sektor lainnya, berdasarkan Undang-undang, no. 16 tahun 2009, bwaha
setiap paja yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang,
sehingga tidak mengkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan
presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan
peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang.
Pajak merupaka harta yang dipungut dari rakyat
untuk keperluan pengaturan negra (Fungsi pajak sebagai regureled) dan untu
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (fungsi pajak sebagai Budgetair) baik
untuk belanja rutin maupun pembangunan intfrastuktur.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak
negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang
nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah
dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek
yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan
peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam
kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik
negara dalam Islam. Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang
tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan
mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia
akan memiliki hak atas tanah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa
masalah diantaranya:
1.
Apakah pengertian dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ?
2.
Apasajakah Objek Pajak itu ?
3.
Apa saja subjek pajak dan wajib pajak dalam PBB ?
4.
Bagaimanakan cara penghitunga PBB ?
5.
Bagaimana Dasar Pengenaan PBB ?
6.
Bagaimana Dasar Hukum PBB ?
7.
Bagaimanakah tata carapenagihan PBB ?
8. Apakah NJOP
DAN NJOPTKP itu ?
9. Bagaimana dan berpakah tarif Pajak dalam PBB ?
10.
Apa yang dimaksud dan bagaimana tentang SPOP, SPPT
Dan SKP ?
11. Bagaimana Pajak Bumi dan Bngunan (PBB) menurut syariah ?
12. Bagaimana tinjauan ekonomi islam terhadap pajak bumi dan bangunan di
indonesia ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan maslah tersebut
penulis berharap dapat mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Dengan ditulisnya penilis berharap dapat mengetahui apa itu pengertian
dari PBB.
2. Dapat mengetahui apasajakah yang termasuk objek pajak.
3. Dapat mengetahui apasajakah subjek pajak dalam PBB.
4. Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat engetahui bagaimana
cara penghitungan PBB.
5. Dapat memahami bagaimana dasar pengenaan PBB.
6. Mengetahui bagaimana dasar hukum PBB.
7. Mengetahui dan memahami bagaimana cara penagihan PBB.
8. Mengetahui dan meamahami apa itu NJOP dan NJOPTKP.
9. Mengetahui berapa trif pajak dalam PBB
10. Memahami dan mengetahui SOP, SPPT dan SKP
11. Mengetahui dan memahami bagaimana dan seperti apa PBB menurut syariah itu.
12. Mengetahui bagaimana tinjauan ekonomi silam terhadap pajak bumi dan
Bangunan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian PBB
Pajak
bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarka Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi
dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaaan obyek yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek(
siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.[1]
Pajak
bumi dan bangunan adalah pajak baru yang mula berlaku pada tanggal 1 januari
1986 berdasarkan UU No. 12 Thn 1986. Pajak ini dimaksudkan untuk menggantikan
peraturan peraturan pajak seperti tersebut di bawah ini:
1. Pajak Rumah tangga 1908 sebagaimana elah
bebrapa kali diubah terakhir dengn peraturan pemerintah pengganti
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959, yang
dengan undang-undang No. 1 tahun 1961
telah ditetapkan menjadi undang-undang;
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923,
sebagaimana telah di ubah beberapa kali terakhir dengan staatblad 1931 Nomor
168;
3. Ordonansi verponding sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dnegan undang-undang no. 29 tahun 1959;
4. Ordonansi pajak kekayaan 1932,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang no. 8
Tahun 1967;
5. Ordonansi pajak jalan 1942 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Rechtspleging Oorlogsmisdrijven
Staatsblad 1946 No. 47;
6. Undang-undang darurat No. 11 tahun 1957
tentang peraturan umum Pjak Daerah Pasal 14 huruf j, k, dan i, yang dengan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tantang Pajak Hasil Bumi yang dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang .
Dari uraian di atas jelas bahwa pajak Bumi dan Bangunan
adalah bermaksud untuk menyederhanakan bebagai peraturan Pajak yang sampai
sekarang masih berlaku dan menimbulkan banyak kesalah fahaman, karena
pajak-pajak itu oleh rakyat dirasa menimbulkan pajak ganda.
Pajak bumi dn bangunan 1986, sebagaimana ternyata dari
namanya bermaksud menenakan pajak atas Bumi dan bangunan. Tentunya erlu
diketahui apa yang dimaksud BUMI dan apa yang dimaksud BANGUNAN.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 UU Pajak Bumi dan
Bangunan, Bumi adalah permukaan bumi, (Perairan) dan tubuh bumi berada
dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara
tetap pada tanah dn atau perairan, yang diperuntukan sebagai tempat tinggal,
atau tempat berusaha, atau tempat yang dapat diusahakan .[2]
B.
Objek PBB
Sebagaimana
tercantum dalam UU PBB yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. (Pasal
2). Yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalalh Bumi dan/ atau
bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yanf ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pada laman (termasuk rawa-rawa
tambak perairan) secra laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah
kontruksi teknik yang ditanam atau diletaka secara tetap pada tanah dan /atau
perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diuasahakan.
Termasuk
dalam pengertian bangunan disini adalah:
1. Jalam lingkungan yang terletak dalam
suatu kompleks bangunan, seperti hotel,
pabrik dan emlasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan
komleks bangunan tersebut.
2. Jalam tol
3. Kolam renang
4. Tempat olahraga
5. Galangan kapal, dermaga
6. Tempat penampungan air dan gas, pipa
minyak
Adakalanya
orang atau badan memeiliki rumah yang ada di atas tanah orang lain, sehingga
pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang PBB memungkinkan
orang yang memiliki rumah diatas tanah orang lain dikenakan pajak tersendeiri
terlepas dari pajak yang dikenakan dianut asas pemisahan horisontal
(horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan pemilik rumah yang ada diats
tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya tidak sama dengan undang-undang Pokok
Agraria maka ada baiknya bahwa hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak
Bumi dn Bangunan. Masalah ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang
masing-masing terikat dimiliki oleh orang lain.[4]
Objek
pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan bahwa tidak dikenakan
pajak adalah :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum dan ridak untuk keuntungan antara lain,
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan
pubakala, atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan
tanah negara yang belum dibebani suatu hak
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik,
konsultan berdasarkan asas perlakuan timbal balik
5. Digunakan oleh badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
Yang dimaksud dengan tidak dimaksud memeperoleh keuantungan
adalah bahwa objek pajak yang diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan
nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dpat diketahui
antara lain dari anggaran dasar anggran rumah tangga dari yayasan atau badan
yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara
sesui pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan negara diatur
lebih lanjut oleh peraturan pemerinta. Objek pajak tersebut mekdudnya objek
pajak tersebut dimiliki atau dikuasai atau digunakan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan
adalah pajak negara yag sebagian besar penerimaan merupakan pendapatan daerah
yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga diminati oleh
pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas tersebut dengan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan.
Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya
Rp 12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak
mempunyai beberapa objek pajak, mkaa
yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak lainnya tetap dikenakan secara
penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.[5]
C.
Subyek dan Wajib Pajak
Subjek pajak adalah
ornag pribadi atau bdan yang secara nyara:
1. Mempunyai suaru hak atas bumu dan atau
2. Memperoleh manfaat atas bumi dan atau
3. Memeilikibangunan dan atau
4. Menguasai bangunan dan atau
5. Memperoleh manfaat atas bangunan.
Berikut akan dijelskan secara lebih rinci mengenai subyek
pajak dan wajib pajak sebagai berikut.
Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai satu hak atas bumi dan atau
memiliki, menguadasi dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian
tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupaka bukt pemilik hak, setiap
yang dikenakan pajak maka dia secara jelas wajib pajak dan apabila objek pajak
belum diketaui secara wajib pajaknya maka Direktur Jendral Pajak mempuyai
wewenang untu menentukan subjek wajib pajak apabila suatu objek pajak belum
jelas wajib pajaknya.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Subjek pajak x memanfaatkan untuk menggunakan bumi dan atau
bangunan milik y bukan karenas sesuatu hak bersasar undang-undang atu bukan
karena perjanjian, maka x ayang memanfaatkan atu menggunakan bumi dan atau
bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.Suatu objek pajak yang masih dalam
sengketa pemilikan dipengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau
menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. Subjek pajak
dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau
badan yng diberi kuasa dpat ditunjukan sebgai wajib pajak. Penujukan tersebut
dilakukan oleh Dirjen Pajak dan bukan bukti pemikan hak.
Untuk wajib pajak tersebut diatas dapat diberikan keteangan
secara tertulis kepad Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadap objek pajak yang dimaksud, bilaketerangan tersebut disetujui, maka
Direktur Jendral pajak menetapkan pembatalan sebagai wajib pajak sebagaimana
diatas dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan
tersebut. Abila surat yang diajuka tidak disetujui maka Direktur Jendral mengeluarkan surat
keputusan penoleakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila setelah jangka
waktu satu bulan sejak tangal diterimanya surat keputusan penolakan , Direktur
Jendral Pajak tidak memberikan keptusan, maka keterangan keterangan yang
ditujukan dianggap disetujui dan apabila Direktur Jendral Pajak diajukan itu
memeberikan keputausan dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
ketenagan dari wajib pajak, maka ketetepan sabagai wajib pajak gugur dengan
sendirinya dan berhak mendapat keputusan pencaburan penetapan sebagai wajib
pajak.[6]
D.
Cara Menghitungan PBB
Untuk
menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang harus dibayar maka harus
diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi) dan/atau bangunan yang menjadi
obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan
bangunan didasakan pada keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang
terbari adalah peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi dan penetapan Nilai Jual Obyek
Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang menggantikan
keputusan Menteri Kuangan Nomor 523/KMK.04/1998.[7]
Contoh :
Wajib
Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp20.000.000,00 dan
NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00, maka besarnya pajak yang
terutang adalah :
PBB = 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 -
Rp12.000.000,00)
= 0,001 x Rp8.000.000,00
= Rp8.000,00
E.
Dasar pengenaan PBB
Dasar
pengenaan pajak adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapka per
wilayah berdasarkan keputusan Menteri Kuangan dengan mendengar perimbangan
gubernur serta pemperhatikan:
1.
Harga rata-rata ygn diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar.
2.
Perbandingan harga dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dengan funsinya sama dan telah diketahui harga jualnya
3.
Nilai perolehan baru
4.
Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
5.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Ø Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral
Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
Ø Dasar penghitungan pajak adalah yang
ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan stinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP).
Ø Besarnya persentase ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak adalah 3
(tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena
perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka
penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam penetapan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang
dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu
dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
1. Nilai jual suatu objek pajak sebesar
Rp2.000.000,00. Persentase misalnya 20%, maka besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 =
Rp400.000,00.
2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar
Rp2.000.000.000,00. Persentase misalnya 40%, maka besarnya 40% x
Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu
membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan
penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan telah ditetapkan besarnya
persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:
1. Sebesar 40% (empqt puluh persen) dari
NJOP untuk:
a. Objek Pajak perkebunan.
b. Objek Pajak kehutanan.
c. Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya
perorangan dengan NJOP atas buk9 dan bangunan sama atau lebih besar dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP
untuk :
a. Objek Pajak pertambangan.
b. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang
dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
F. Dasar Hukum Pajak
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah
Undang-undang No.12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994.
ASAS
Asas
Pajak bumi dan Bangunan;
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan.
2. Adanya kepastian hukum.
3. Mudah dimengerti dan adil.
4. Menghindari pajak berganda.
G. Tata Cara Penagihan
Dan Pembayaran Pajak
1. Jangka Waktu
Pembayaran
Seperti telah kami uraikan di muka pada PBB belum diberlakukan
sistem self assesment, dan pajak baru harus dibayarkan setelah ada Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan
sejak tanggal diterima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Ps 11 ayat 1 UU
PBB). Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak harus dilunasi
selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterima Surat Ketatapan Pajak.
Ternyata di sini terdapat jangkat waktu yang berlainan yaitu
6 bulan dan 1 bulan. Jangka waktu 6 bulan itu diberikan karena wajib pajak
memenuhi segala peraturan sehingga diberi kelonggaran selama 6 bulan. Ini
berarti bahwa jumlah pajak itu dapat dicicil selama 6 bulan asal sudah lunas
pada selambat-lambatnya 6 bulan setelah diterima SPPT.
Tetapi pajak yang terhutang berdasarkan SKP hanya diberikan
jangka waktu 1 bulan. Di sini sebetulnya ada umur sanksi, karena wajib pajak
tidak memenuhi (seluruhnya) ketentuan Undang-undang.
2.
Terlambat Membayar
Pajak harus sudah lunas pada ssat hutang jatuh temponya,
pembayaran dapat diatur sendiri oleh wajib pajak, asal tidak melampaui batas
waktu.
Jika pada saat hutang pajak jatuh tempo, dan ternyata pajak
belum dibayar atau belum dibayar semua, maka dikenakan denda administrasi
sebesar 2% sebulan, untuk jumlah yang sudah jatuh temponya tetapi belum
dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran.
Untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (Pasal 11 ayat 3).
Contoh:
SPPT tahun pajak diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1
Maret 1986, dan besarnya pajak yang terhutang, adalah Rp100.000,- pada tanggal
2 September 1986 jumlah itu baru dibayar semuanya. Hutang pajak tersebut jatuh
temponya pada tanggal 31 Agustus 1986, 6 bulan setelah SPPT diterima, jadi
pembayaran dilakukan terlambat 2 hari. Maka, wajib pajak dikenakan denda
administrasi sebesar 2%. Walaupun terlambat 1 hari ataupun 10 hari atau 20
hari, dendanya tetap 2% sebulan. Jadi pajak baru harus dibayar pada tanggal 2
September 1986, maka yang harus dibayar adalah Rp100.000,-, + 2% x Rp100.000,-
= Rp102.000,-. Dan andaikata pajak baru dibayar pada tanggal 10 Oktober (jadi
dihitung terlambat 2 bulan) maka pajak yang harus dibayar berikut dendanya
adalahRp100.000,- + ( 2 x 2% x Rp100.000,-) = Rp104.000,- (pasal 11 ayat 3).
Kalau hutang pajak itu ternyata belum dibayar pada waktu
pengecekan/pengawasan dilakukan, maka oleh kantor inspeksi pajak yang
mengadministrasikan hutang pajak itu, akan dikeluarkan surat tagihan pajak sebesar jumlah pajak yang belum dibayar
ditambah denda 2% untuk setiap bulan terlambat membayar (pasal 11 ayat 4).
Menurut penjelasan UU surat tagihan pajak itu harus dilunasi dalam jangka waktu
1 bulan terhitung sejak tanggal diterima STP tersebut.
3.
Tempat Dan Cara Pembayaran Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang dapat dibayar di bank,
kantor pos, dan giro dan tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh menteri
keuangan. Karena pajak bumi dan bangunan, hasilnya sebagian besar akan
diserahkan kepada pemerintah daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan
tempat-tempat pembayaran yang memudahkan wajib pajak, dan pula agar pemerintah
daerah dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan. Pajak untuk membiayai
pembangunan di masing-masing wilayahnya. Kantor pos dan giro tersebear
dimana-mana sampai ke kota-kota kecil, yang akan sangat memudahkan para wajib
pajak yang tempat tinggalnya jauh dari kota-kota besar. Juga bank terdapat
dimana-mana yang juga dapat dimanfaatkan untuk menerima pembayaran PBB.
Disamping itu menteri keuangan masih dapat menunjuk di tempat-tempat lain yang
diberi tugas untuk menerima pembayaran PBB (pasal 11 ayat 5 UU PBB).
Tatacara pembayaran pajak dan penagihan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 ayat 1 s.d 5, diatur oleh menteri keuangan, dalam Kep.Men.Keu.
No.1005/KMK04/1985.tgl.28-12-1985, lihat juga Kep.Men.Keu. No.346/KMK.01/1985.
Dalam hal PBB dibayar melalui petugas pemungut yang ditunjuk
untuk itu maka setiap hari petugas pemungut wajib menyetorkan hasil pungutan
PBB ke kantor pos dan giro setempat atau ke cabang Bank pemerintah setempat.
4.
Penagihan
Lazimnya jika wajib pajak melakukan kewajibannya membayar
pajak pada waktunya, maka tidak akan dilakukan penagihan oleh kantor inspeksi
pajak yang bersangkutan. Penagihan baru dilakukan oleh kantor inspeksi pajak
apabila wajib pajak tidak membayar hutang pajak yang sudah jatuh temponya, atau
terlambat membayar pajak, sehingga dikenakan biaya sanksi administrasi. Surat
pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), surat ketetapan pajak (SKP) dan surat
tagihan pajak (STP) merupakan dasar untuk penagihan pajak (pasal 12 UU PBB).
Jika andaikata wajib pajak mempunyai hutang pajak berdasarkan
SPPT sejumlah Rp100.000,- yang jatuh temponya pada tanggal 31 Agustus 1986,
tetapi ternyata pada tanggal 2 November belum juga ada pembayaran maka akan
diberi teguran dan baru kemudian dikeluarkan surat tagihan pajak oleh kantor
inspeksi pajak, ditambah denda sebesar 2% utnuk setiap bulan terlambat
pembayaran ( = 3 bulan). Surat tagihan pajak ini harus dibayar dalam waktu 1
bulan sejak tanggal diterima STP tersebut.
Jika dalam jangka waktu 1 bulan STP tidak juga dibayar maka
pajak beserta denda ditagihkan dengan surat paksa (pasal 13 UU PBB). Untuk
penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa berlaku UU No 19 tahun 1959
(tentang penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa).
Cara penagihan dilakukan sesuai dengan ketentuan UU tersebut,
mengenai caranya, juru sita dan mengenai sita dan lelang (lihat Rochamat
Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan PT. Eresco 1986). Jika kita bandingkan
dengan peraturan yang lazim diterapkan maka surat tagihan pajak berfungsi
sebagai surat teguran terakhir yang kemudian dapat disusul dengan surat paksa.
5.
Pelimpahan Penagihan PBB
Menteri keuangan oleh UU diberi wewenang untuk melimpahkan
penagihan PBB kepada gubernur/kepala daerah tingkat I dan/atau kepada
bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II (pasal 13 UU PBB).
Penjelasan pasal 14 mengatakan bahwa pelimpahan wewenang
penagihan pajak kepada gubernur/kepala daerah tingkat I dan/atau kepada
bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II bukanlah pelimpahan urusan penagihan melainkan hanya sebagai pemungut
pajak, sedangkan pendatan objek pajak dan penetapan pajak yang terhutang
tetap menjadi wewenang menteri keuangan. Lihat Kep.Men.Keu No.1007/KMK.04/1985.
Dalam hal jumlah pajak yang terutang sebagaimana tercantum
dalam surat pemberitahuan pajak terhutang, tidak sesuai dengan objek pajak yang
sebenarnya maka pemungut pajak (dalam hal ini gubernur, bupati, atau walikota)
tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan
hal tersebut kepada menteri keuangan c.q direktur jenderal pajak.
Pelimpahan
wewenang ini tidak meliputi penagihan PBB untuk wajib pajak perkebunan,
kehutanan, dan pertambangan.[8]
H. NJOP dan NJOPTKP
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak tetrdapat transaksi jual beli,
Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain
yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Yang
dimaksud dengan :
· Perbandingan harta dengan objek lain
yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
· Nilai perolehan baru, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat
penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik
objek tersebut.
· Nilai jual pengganti adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada
hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya
NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi :
1. Objek pajak Sektor Pedesaan dan
Perkotaan.
2. Objek Pajak Sektor Perkebunan.
3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak
Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta
Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi.
6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas
Bumi.
7. Objek Pajak Sektor PertambanganNon Migas
selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C.
8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non
Migas Galian C.
9. Objek Pajak Sektor Pertambangan yang
dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama.
10. Objek Pajak usaha bidang perikanan laut.
11. Objek Pajak usaha bidang perikanan
darat.
12. Objek Pajak yang bersifat khusus.
Sedangkan NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau
bangunan yang tidak kena pajak. Mulai 1 Januari 2010, pemerintah menetapkan
aturan baru tentang nilai jual kena pajak (NJKP) dan nilai jual objek pajak
tidak kena pajak (NJOPTKP) yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada 15 September
2009. Besaran NJOPTKP diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp12.000.000,-,
kini paling rendah Rp10.000.000,- per objek pajak berdasarkan UU No.28 Tahun
2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Pada tahun 2011 seiring dengan
perkembangan ekonomi, moneter, dan harga umum objek pajak, menteri keuangan
telah melakukan penyesuaian terhadap besarnya nilai jual objek pajak tidak kena
pajak (NJOPTKP) PBB. Besarnya NJOPTKP PBB untuk tahun 2012 ditetapkan maksimal
sebesar Rp24.000.000,- NJOPTKP merupakan pengurangan besarnya NJOP sebelum
dikalikan tarif PBB sehingga NJOPTKP akan mengurangi besarnya PBB yang
terutang.
Untuk menentukan besarnya NJOPTKP
PBB tahun 2012 ditetapkan oleh kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak
setempat atas nama menteri keuangan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan
mempertimbangkan pendapat pemerintah daerah setempat, ketentuan tersebut diatur
dalam peraturan menteri keuangan No.67/PMK.03/2011, tanggal 4 April 2011
artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif
NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran
PBB yang harus ditanggung masyarakat. Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP,
akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota
kepada dunia usaha.
I. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar
0,5%(lima per sepuluh persen).
Tarif PBB untuk pedesaan dan perkotaan diturunkan dari 0,5%
terhadap nilai jual objek pajak (NJOP) menjadi paling tinggi 0,3% dari NJOP.
Perubahan tarif PBB pedesaan dan
perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada tanggal 15 September
2009.
Langkah ini diharapkan dapat
memperluas basis pemungutan PBB kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah
31 Desember 2013.[9]
1. Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang
Menentukan Pajak Terutang
Ø Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu)
tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.
Ø Saat yang menentukan pajak yang terutang
adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh
:
a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005
berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2005 bangunannya terbakar,
maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1
Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa
sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005 dilakukan
pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak
yang terutang untuk tahun 2005 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal
1 Januari 2005. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
2. Tempat pajak yang terutang :
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah
Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang
terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau.
J. SPOP, SPPT dan SKP
1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak
wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP.
Dalam
rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan
kepada Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak
wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia
wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jemdral Pajak.
2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar,
lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Yang
dimaksud dengan jelas dan benar adalah ;
Jelas, dimaksudkan agar
penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data
yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah
dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan
kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT
berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT
diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat
diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jendral
Pajak.
4. Direktur Jendral Pajak dapat
mengeluarkan Surat Ketetapan pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih
besar dari umlah pajak yang dihitung berdasrkan SPOP yang disampaikan oleh
wajib pajak.
Wajib pajak yang tudak menyampaikan SPOP pada waktunya,
walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka
waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jendral Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada
pada Direktorat Jendral Pajak ternnyata jumlah oajak yang terutang lebih besar
dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan
wajib pajak, Direktur Jendral Pajak menerbitkan SKP secara jabatan.
5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP
sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan
denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
Sanksi
administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP,
dikenakan sanksi sebagaimana tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25%
dari pokok pajak.
SKP
ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jendral Pajak memuat penetapan
objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang
dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh
:
Wajib
pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan
data yang ada, Direktur Jendral Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi:
· Objek pajak dengan luas dan nilai jual
· Luas objek pajak menurut SPOP
· Pokok pajak Rp2.000.000,00
·
Sanksi
Administrasi :
25% x Rp2.000.000,00 Rp 500.000,00
Jumlah pajak yang
terutang dalam SKP Rp2.500.000,00
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB
sebagaimana dimaksud dalam no. 4 huruf b, adalah selisis pajak yang terutang
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang
yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari
selisih pajak yang terutang.
Sanksi
administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
Berdasarkan SPOP
diterbitkan SPPT Rp2.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan
pajak yang
seharusnya
terutang 2.500.000,00
Selisih Rp
500.000,00
Denda
administrasi 25% x Rp500.000,00 125.000,00
Jumlah
pajak yang terutang dalam SKPKB Rp
625.000,00
Untuk
lebih memperjelas uraian di muka, berikut diberikan bagan mengenai sistem
pengenaan PBB dan bagaimana SPOP, SPPT,
dan SKP dikeluarkan.[10]
SISTEM PENGENAAN PBB
SPOP
hanya diberikan dalam hal :
1.
Objek
pajak belum terdaftar/data belum lengkap.
2.
Objek
pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap.
3.
NJOP
berubah/pertumbuhan ekonomi.
4.
Objek
pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek
pajak.
Berikut ini deberikan beberapa bagan yang menggambarkan SPOP kembali, SPOP tidak kembali, dan SPOP kembali tetapi tidak benar,
SPOP ditinjau dari sifat dan fungsinya.
K. PBB menurut syariah
Pajak Bumi dan bangunan (pbb) adalah pajak yang dikenakan
terhadap bumi dan bangunan berdasarkan undang-undang Nomoe 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2000. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti
besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah
dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan
besarnya pajak.
Sedangkan objek PBB adala “Bumi dan /atau Bangunan”
Bumi:
Permukaan bumi (tnah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada
dibawahna. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dan
lain-lain.
Bangunan:
Kontruksi teknik yang dinamakan atau diletakan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan di
wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah tempat tinggal, bangunan tempat
usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan
minyak lepas pantai dan lain-lain.
Objek
yang dikecualaikan adalah objek yang;
1. Digunakan untuk semata-mata melayani kepentingan
umum dibidang ibadah sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak
dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti masjid, greja, rumah sakit,
pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan
purbakala.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam,
hutan wisata taman nasional dan lain-lain.
4. Dimiliki oleh perwakilan diplomatik
bersaarkan asas timbal balik dan organisasi internsional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.
Subjek
pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1. Mempunyai suaru hak atas bumi dan/atau
2. Memeperoleh manfaat atas bumi, dan atau
3. Memiliki, menguasai atas bangunan dan
atau
4. Memeperoleh manfaat atas bangunann
Kalo
dilihat dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena
kaum muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki,
tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan
lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim
atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil
tanah sebgai zakat.
Dengan
kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum
Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/ bangunan yang merka miliki,
tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau
bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa mareri berupa bauahnya,
maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.[11]
L. Tinjauan Ekonomi
Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di Indonesia
1. Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam
Ekonomi Islam
Persoalan
kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid Allah SWT
sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu yang ada
di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S Ibrahim (14)ayat 32.
“Allah
lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurut air hujan dan langit..
(Q.S Ibrahim (14):32)
Seluruh
isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia dapat memanfaatkan yang
ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga hidup mereka Islam menganggap hak
kepemilikan adalah pembemberian Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan
seluruh umat. Kekausaan manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari
perannya sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malikat, sesungghnya aku hendak menjadikan sorang khalifah di muka bumi, (Q.S
Al-Baqarah:30)
Allah
telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga sebagai khalifah,
manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah sediakan di muka bumi. Semua
yang halal dapat menjadi hak milik manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan
kehidupan mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh
bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ysng
dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil
keuntungan dari suatu badan yang berada dlam kekusaan tanpa merugikan orang
lain.
Menurut
Undang-Unang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 hak milik adalah hak turun
menuru, terkuat dan yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Konsep
kepemilikan dalam ekonomi islam ada tiga benruk yaitu:
1. Kepemilikan pribadi (Prifate Ownership)
2. Kepemilikan Publik (Public ownership)
3. Kepemilikan Negara (State ownership)
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam
ekonomi Islam:
1. Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)
Setiap
individfu memiliki hak untu menikmati hak miliknya, menggunkan secara
Produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemborosan. Tetapi, haknua itu
dibatasi oleh sejumlah batasan. Ia tidak boleh menggunakannya secara
berhambur-hambur, juga tidak
bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk tujuan
bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu tidak boleh menggunakan hak
miliknya, yang biasa bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.
2. Kepemilikan Publik (public ownership)
Kepemilikan
publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya diperlukan untuk kepentingan
sosial. Contohnya pentig dari pemilikan bersama adalah anugrah alam. Seperti
air, rumput dan api, yang secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW.
Semua itu pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan apapun
untuk menggunakannya. Aladan lain adalah dami kepentingan umum. Jika ada
individu yang menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan
kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan
api hanya contoh kecil saja, akan tetapi masih banyak objek yang lain yang
meimiliki kesamaan karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan
mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik kolektif,
seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
3.
Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara
membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber-sumber penghasilan
dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misanlnya untuk
menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadailan, dan
secaara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah,
sumber utama kekayaan negara adalah zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara
juga bisa meningkatkan sumber penghasilannya dengan mengenakan pajak, ketika
dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara secara aktual
merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara hanya sebagai pemegang amanah
(caretaker), sehingga merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna
kepentingan publik. Dalam kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut
pandang dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi Islam
dalam hal kepemilikan.
Konsep
kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep pada sistem kapitalisme
maupun sosialisme. Sistem kapitalisme mengedepankan individualisme sehingga memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada individu untuk memiliki apa saja yang diingankan. Sedangkan
sistem sosialisme sebaliknya, mengedepankan kolektivisme. Dimana individu
secara langsung tidak memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat
produksi dimiliki dan dikuasai oleh negera.
Kedua
sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi Islam dalam hal konsep
kepemilikan Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat
memiliki harta kekayaan. Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam
kehidupan setiap individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam
masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan fitrah manusia.
Namun
dalam ekonomi Islam hak individu terhadap harta dibatasi oleh hak masyarakat.
Artinya dalam harta individu terdapat hak milik masyarakat terutama masyarakat
yang tidak mampu. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19 yang
artinya:
“dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.”
Dalam
ekonomi Islam, tanah merupakan kekayaan alam yang paling penting dimana
tampaknya hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk
apapun. Tanah merupakan sumber penghidupan yang pertama dalam Islam dengan
tanah kita dapat menderikan tempat tinggal, bercocok tanam, mendirikan tempat
produksi, dan lain sebagainya.
Kepemilikan
tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan peranan penting dalam
pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak
ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang
individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan
usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang
menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendapat
lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan pribadi atas tanah kecuali
bila individu telah memiliki sebidang tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk
kepangkuan Islam secara sukarela atau melalui perjanjian. Menurut Ibnu
Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah bukanlah hak
absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk terus
menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi bagi kemajuan
masyarakat Islam.
Dalam
buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr dijelaskan bahwa ada berbagai
keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara
lain:
1. Tanah yang masuk wilayah Islam melalui
penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara
Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriyah
dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah
tersebut tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda, yaitu:
a. Tanah yang digarap oleh tangan manusia
pada saat penaklukan. Tanah tersebu menjadi milik bersama kaum muslim, baik
generasi muslim saat penaklukan maupun generasi muslim di masa mendatang.
b. Tanah mati pada saat penaklukan, tanah
yang tidak tergarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini
akan menjadi milik imam (negara).
c. Tanah yang subur secara alam pada saat
penaklukan, hutan dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan
bersama kaum muslim.
2. Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui
Dakwah
Tanah
yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya
menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota
Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.
Tanah-tanah
hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Tanah yang digarap oleh para penduduknya
dan mereka masuk Islam secara sukarela.
b. Tanah yang subur secara alami seperti
hutan serta berupa tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan
individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah
mati juga menjadi milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang
menghidupkan (menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3. Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui
Perjanjian (Sulh)
Tanah
ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap memeluk agama mereka
serta hidup damai dan aman dibawah naungan negara Islam. Tanah ini tetap
menjadi milik mereka. Namun, jika didalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah
tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip
kepemilikan bersama.
2. Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam
Ekonomi Islam
Harta
rampasan perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta bergerak atau harta
yang dapat dipindahkan tetapi juga harta tidak bergerak yang meliputi
tanah-tanah pertanian di negara yang dikuasai.
Di
antara tindakan Rasulullah SAW. terhadap tanah yang dikuasai yang dapat
dijadikan contoh adalah perlakuan beliau terhadap tanah Khaibar adalah sumber kharaj
untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar ditaklukan, tanah tersebut
diserahkan pada bangsa Yahudi khaibar bukan untuk dijadikan sebagai milik
mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan syarat yang mereka
ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil tanaman dan
buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil setengahnya sebagai kharaj,
Nabi SAW. mengutus Abdullah bin Rawahah.
Secara
sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa dia ambil
dari kata “kharaja”, yng artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj adalah apa
yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan
harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada
yang memeberikan pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak
tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak
bumi, jizyah dan ’Usyr .
Dalam
reading in islamic fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut:
Khera was used for
levies in return for leasing a land. The Arabs used to call land rent or haouse
rent as kharaj. Umar leased conquered lands to people in return of a fixed levy
and it was called kharaj .
Pada
masa rosullulah saw, jumlah kharaj yang
dibayarkan masih sangat terbatas shingga
tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang terperinci. Selama pemerintahan
khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam semakin luas seiring dengan banyaknya
daerah-daerah yang berhasil ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara
damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dengan
semakin lausnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem administrasi yang
terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yag
diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Dimasa
Umar Bin Khatab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas Syam, Irak, Dan
Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam
meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum
yang ditetapkan rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta yang
berupa barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya sebagai
milik umum umat islam dan diambil kharaj darinya.
Sistem
pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam sistem yaitu
sistem wazifah (tetap) dn sistem muqasamah (proporsional). Dalam buku reading
in islamic fiscal policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu
sebagai berkut:
Kheraj,
since the dayas of HAZRAT Umar and until Mahdi’s reign during the Abbasaid era,
was levied on acreage basis and not on crop. A major development accurred
during Al-Mahdi’s reign and the state adopten Al-Mugasama or crop sharing
intead of the aceage system. The state under new system shared crpos with
tenant on the basis of a certain percentage of total harvest. This implied that
kharaj, rwverme would not be fixed but would very with variation in total crop.
A main reason behind the change was suggested to reduce burned of fixed kharaj
on formers.
Abu
Ubeid, the founder of new system, suggested new rates which varied according ti
difficulties of irrigation. Rates ware reduce wherever difficulties existed. Rates also varied according to
vicinty to market. This gives a clear
indication that vartical aquity
was catered for Islamic levies. Abu yusuf later suported the new system as
being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also be
subject to kheraj. He also suggested that the ruller could veru kheraj
according the ability ot tenant.
Cara
pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (waziyah), yaitu beban pada
tanah sebanyak hsil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib
setelah lampau satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari halifah Umar bin
Khattab sampai pada amasa daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode
perhitungan wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan
tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode
ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu yusuf berpandangan
bahwa sistem misaha atau wazifah
ini tidak lagi efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin
Khattab menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah
sedangakan seabgian lainnya menganggur. Area yang diolah diklasifikasikan dalam
satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak diolah. Atas
dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan bagi negara dan keadilan sosion
ekonomi, maka Abu Yusuf menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid
untuk mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.
Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan (
muqasamah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total
hasil yang panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang
yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta
menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak atas tanah
mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan pertimbangan
persentase yang ditetepkan oleh negara tidak terlalu tinggi. Abu yusuf
merekomendasikan adaptsi dari sistem muqasamah denganmengenakan presentase dari
produksi panen. Yang sudah ada
Penetapan
kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul kemampuan kandungan
tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat berpengaruh, yaitu:
1. Jenis tanah : karena kandungan tanah
bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
2. Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi
dan juga ada yang rendah.
3. Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan
yang tinggi, maka pajak tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air
hujan (biaya rendah).
Kharaj
yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum
sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan
umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen dalam ilmu
ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah pajak yang
memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam pengambilannya.
Analisa Ekonomi Islam
terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia
1. Dasar Hukum Pajak
Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam
Pajak
Bumi dan Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994. Dengan
pertimbangan bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak
atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila
mereka diwajibkan memberikan sebagaian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya
kepada negara melalui pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat penting bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembagunan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam ekonomi
Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit tentang PBB, yang ada hanya
pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari objeknya, baik itu
PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB
objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang
memilih tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena itu,
kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus dijalankan.
Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara
muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus menemukan
contoh masing-masing pada masa lalu. Kebijakan yang relavan bagi kehidupan
modern adalah adanya hak negara Islam untuk mengenakan pajak dengan keadilan.
Adalah pendapat yang tidak realistis bila perpajakan negara-negara muslim harus
terbatas hanya pada lahan pajak yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi
telah berubah dan perlu melengkapi sistem pajak dengan menyertakan realitas
perubahan terhadap kebutuhan negara berkembang dan perekonomian modern.
Salah satu sumber penerimaan negara Islam adalah zakat dan
sasaran penggunaan dana zakat hanya terbatas pada delapan asnaf yang telah
ditentukan Al-Quran. Oleh karena itu, keperluan pembangunan insfratuktur
seperti untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, pengairan, dan lain
sebagainya harus dibiayai dari sumber lain di luar zakat.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat
tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lain-lain.
adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada. Maka untuk dapat
membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali mengenakan pajak.
Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib.”
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara
Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem
perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin dengan meningkatkan pajak
bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam. Namun dengan melakukan
pinjaman kepada negara asing dan lembaga keuangan internasional akan berpotensi
membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban sementara waktu yang pada
akhirnya akan membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang yang
berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih dari pada
ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut.
Ø Benar-benar
harta (dana) itu dibutuhkan dna tidak ada sumber lain.
Ø Pembagian
beban pajak yang adil
Ø Pajak
hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan
hawa nafsu
Ø Persetujuan
para ahli dan para cendikia
Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah selalu meminta
pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan kebijakan.
Sebagaimana QS. An-Nisa: 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yagn beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil mari di antara kamu...”
Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dendan sumebr penerimaan
negara lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses pembangunan baik
pembangunan fisik sepertijalan, jembatan, gedung, rumah sakit, dan sekolah
keagamaan (kerohanian) dan lain sebagainya yang tidak terlihat namun berperan
penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk menghimpun penerimaan negara, kebijakan di
bidang PBB juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan.
Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya
dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif.
Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi
pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai ekonomis tanah
tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB mendorong masyarakat untuk
memproduktifkan tanah dan bangunan yang mereka miliki.
2.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan
Tema distribusi menjadi kajian sentral dalam filosofi ekonomi
Islam, secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut distribusi
kekayaan. Konsep kekayaan adalah konsep stock,
seperti halnya tabungan yang diinvestasikan atau ditumpuk-tumpuk inilah
kekayaan seseorang pada titik tertentu. Sedangkan konsep pendapatan adalah
konsep flow, misalnya pendapatan
perminggu, perbulan, atau pertahun.
Dalam kehidupan ada sejumlah orang yang memiliki kekayaan
sementara yang lainnya tidak. Kekayaan tersebut bukanlah hak dan kendali
absolut, sehingga bukan untuk dihabiskan sia-sia atau didiamkan tanpa
dimanfaatkan. Namun harus digunakan untuk tujuan produktif sehingga tidak hanya
bermanfaat bagi dirinya tetapi juga bagi oranglain.
Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah
menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota
masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan berusaha
menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan kepada seluruh anggota
masyarakat.
Islam memberi hak intervensi kepada negara untuk
mengaplikasikan konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi penyimpangan
dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan gagasan keadilan
sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan adanya konsep distribusi
harta kekayaan yang baik, maka tidak akan ditemui sebuah perbedaaan tingkat
ekonomi, ataupun kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota masyarakat.
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah
distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa
mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :
1.
Pemenuhan kebutuhan bagi semua
makhluk hidup.
2.
Menimbulkan efek positif bagi
pemberi itu sendiri, misalnya zakat, selain dapat membersihkan diri dan harta muzakki
juga meningkatkan keimanan dan menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang
lain.
3.
Menciptkan kebaikan antara yang
kaya dan yang miskin.
4.
Mengurangi kesenjangan pendapatan
dan kekayaan.
5.
Pemanfaatan lebih baik terhadap
sumber daya alam dan aset tetap.
6.
Memberikan harapan pada orang
lain melalui pemberian
Distribusi
kekayaan berjalan pada dua tingkatan. Yang pertama adalah distribusi
sumber-sumber produksi (kekayaan induk) seperti tanah, bahan-bahan mentah, alat
dan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi barang dan komoditas.
Sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif (kekayaan turunan),
yaitu barang-barang modal dan aset tetapi (fixed asset) seperti gedung,
kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan hasil dari proses produksi
menusia dengan kerja. Jadi dalam ekonomi Islam distribusi mencakup pada kedua
jenis keyaan itu.
Pajak merupakan salah satu alat
redistribusi kekayaan dalam ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat
dan warisan. Distribusi kekayaan dilakukan sebagai usaha untuk mencegah
konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7
“Supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu .. “
(Q.S. Al-Hasy (59):7)
Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan
atau bangunan. Bumi atau tanah merupakan salah satu sumber produksi dan
bangunan merupakan salah satu jenis kekayaan produktif sehingga kedua merupakan
objek dari distribusi kekayaan.
Salah
satu cara untuk mendistribusikan kekayaan tersebut adalah dengan memungut pajak
dari kekayaan yang dimiliki masyarakat dan hasil dari pajak tersebut digunakan
untuk kepentingan masyarakat kembali.
3.
Tarif perpajakan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam Ekonomi
Islam
Tarif perpajakan di
Indonesia ada beberapa macam dan sistem tarif yang digunakan dalam pajak dan
bangunan (PBB) adalah tarif proporsional. Dimana besarnya presentase yang tetap
terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Besarnya
presentase yang digunakan dalam PBB sebesar 0,5%. Apakah adil penggunaan
presentase tarif pajak yang sama antara orang yang memiliki tanah luas dengan
orang yang hanya memiliki tanah untuk kebutuhan primer?
Menurut Rochmat Soemitro pajak merupakan senjata yang ampuh
utnuk menjembatani jurang kemisikinan antara golongan yang berpenghasilan
tinggi dengan golongan yang berpenghasilan rendah. Untuk hal tersebut, ditempuh
dengan jalan menerapkan tarif progresif. Pada tarif progresif persentase tarif
yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Pajak merupakan alat retribusi kekayaan, dimana pajak dengan
tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada
golongan yang mampu, peranan ini sangat penting untuk mengenakan keadilan
sosial.
Dalam bukunya Majmuatur
Rasa’il, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa sestem perpajakan progresif
seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan sosial dan distribusi
pendapatan yang merata.
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan pajak progresif
yang ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan tertentu dan untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara tertentu dan dalam
keadaan tertentu.
Pada masa nNabi tarif zakat bisa begitu rendah adalah
lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari dana zakat
relatif masih sederhana, jauh dibawah tingkat kebutuhan masyarakat zaman
sekarang, seperti kebutuhan untuk membangun jalan tol, kebutuhan jaringan
komunikasi dengan satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya.
Besar kecilnya tarif pajak secara absolut yang harus dibayar
oleh masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan
dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip syariat. Nabi menetapkan
tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu jenis kekayaan yang dikenakan
tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun (rikaz). Artinya, apabila variabel
tantangan keadilan dan kemaslahatan yang ditemukan lebih berat pada masyarakat
yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang
ditentukan Nai tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem
perpajakan progresif pun bisa diterapkan.
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia menggunakan tarif
proporsional sebesar 0,5%. Di mana tidak ada kenaikan tarif seiring dengan
bertambahnya dasar pengenaan PBB. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini
masih banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam nemtuk tanah
maupun bangunan (property).
Pajak progresif adalah cara yang terbaik untuk menghilangkan
perbedaan kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana kekayaan itu tidak
dapat didistribusikan secara merata di antara masyarakat. Oleh karena itu,
untuk merubah keadaan demikian harus digunakan pajak bertingkat (progresif)
agar jurang perbedaan dapat diperkecil. Hendaklah orang kaya diturunkan
setingkat dan orang miskin dinaikkan setingkat sehingga dua golongan ini
berdekatan satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak
negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang
nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah
dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek
yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Sesuai dengan UU Pph, atas pengahasilan dari
pengalihan dan pengalihan hak berupa tanah dan /atau bangunan, pengenaan
pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. PP yang mengatur mengenai hal ini
adalah PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Pengasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hk atas tanah dan/atau
bangunan. PP ini mencabut ketentuan lama yaitu PP nomor 3 tahun 1994 tentang
pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun berjalan atas penghasilan dari
pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dilihat
dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum
muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki,
tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan
lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim
atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil
tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil
yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas
tanah dan/ bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi
pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik
hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.
B. Saran
Dengan makalah ini semoga
pembaca bisa mengetahui dan memahami mengenai pajak bumi dan bangunan serta
tata caranya, sehingga dalam pengaplikasian nyatanya pembaca tidak akan
menemukan kekeliruan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aristanti
widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung: Alfabeta.
Gushfahmi.
2007.Pajak Menurut Syriah.jakarta:
Rajawali Pers.
Mardiasmo.
2008. Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan
Bangunan. Bandung: PT ERESCO BANDUNG.
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.Pajak
Di Indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
Wahyudi
triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/1247
[1] Aristanti widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung:
Alfabeta.
[2] Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT ERESCO
BANDUNG.
[3] Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
[4] Ibid
[5] Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang:
GRAHA ILMU
[6] Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang:
GRAHA ILMU5
[7] IBID
[8] Ibid
[9] ibid
[11] Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut
Syriah.jakarta: Rajawali Pers.
Langganan:
Postingan (Atom)