PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
DAN KAJIANNYA DALAM EKONOMI ISLAM
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan
MAKALAH
Dosen
Mata Kuliah :
NENENG
HARTATI, S.E., M.M.
Oleh:
KELOMPOK
4
Nama : Rani Mardiani Sani
NIM : 1133070182
Nama : Ratih
NIM : 1133070183
|
Nama : Sihabudin Ali Khoer
NIM : 1133070211
Nama : Sispa Sritin Agustina
NIM : 1133070214
|
MANAJEMEN KEUANGAN
SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M/1435 H
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Dengan mengucap puji dan
syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dan Kajiannya
Dalam Ekonomi Islam”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada murobbi sepanjang masa, Nabi
Muhammad saw., yang telah memberikan motivasi melalui kisah inspiratif yang menggugah dan menjadi teladan untuk
kehidupann sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa
penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk
itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Neneng Hartati, S.E. M.M. selaku dosen mata
kuliah Perpajakan yang telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini.
Selain itu, penulis sampaikan terima kasih juga kepada
kepada sahabat seperjuangan Manajemen
Keuangan Syariah 3 – E yang mendukung dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya.
Dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik dari pembaca
yang bersifat membangun penulis harapkan demi kesempurnaan penulisannya dimasa
yang akan datang. Demikianlah, semoga
bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Bandung, 11 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
COVER................................................................................................................ 1
KATA
PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR
ISI....................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 4
A.
Latar Belakang
Masalah............................................................................ 4
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C.
Tujuan
Penulisan....................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 7
A.
Pengertian PBB......................................................................................... 7
B.
Objek Pajak............................................................................................... 8
C.
Subjek dan
Wajib Pajak............................................................................ 10
D.
Cara Menghitung
PBB.............................................................................. 12
E.
Dasar Pengenaan
PBB.............................................................................. 13
F.
Dasar Hukum
Pajak................................................................................... 14
G.
Tata Cara
Penagihan dan Pembayaran Pajak ........................................... 15
H.
NJOP dan
NJOPTKP................................................................................ 18
I.
Tarif Pajak................................................................................................. 20
J.
SPOP, SPPT
dan SKP............................................................................. 21
K.
PBB
Menurut Syariah.............................................................................. 25
L.
Tinjauan
Ekonomi Islam terhadap PBB.................................................... 26
BAB III PENUTUP............................................................................................ 42
A.
Simpulan.................................................................................................... 42
B.
Saran.......................................................................................................... 43
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 44
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pajak merupakan pemsukan negara terbesar di
bandingkan sektor lainnya, berdasarkan Undang-undang, no. 16 tahun 2009, bwaha
setiap paja yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang,
sehingga tidak mengkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan
presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan
peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang.
Pajak merupaka harta yang dipungut dari rakyat
untuk keperluan pengaturan negra (Fungsi pajak sebagai regureled) dan untu
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (fungsi pajak sebagai Budgetair) baik
untuk belanja rutin maupun pembangunan intfrastuktur.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak
negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang
nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah
dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek
yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan
peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam
kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik
negara dalam Islam. Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang
tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan
mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia
akan memiliki hak atas tanah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya:
1.
Apakah
pengertian dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ?
2.
Apasajakah
Objek Pajak itu ?
3.
Apa saja subjek
pajak dan wajib pajak dalam PBB ?
4.
Bagaimanakan
cara penghitunga PBB ?
5.
Bagaimana Dasar
Pengenaan PBB ?
6.
Bagaimana Dasar
Hukum PBB ?
7.
Bagaimanakah
tata carapenagihan PBB ?
8. Apakah NJOP DAN NJOPTKP itu ?
9. Bagaimana dan berpakah tarif Pajak dalam
PBB ?
10.
Apa yang
dimaksud dan bagaimana tentang SPOP, SPPT Dan SKP ?
11. Bagaimana Pajak Bumi dan Bngunan (PBB)
menurut syariah ?
12. Bagaimana tinjauan ekonomi islam terhadap
pajak bumi dan bangunan di indonesia ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan maslah tersebut penulis berharap
dapat mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Dengan ditulisnya penilis berharap dapat
mengetahui apa itu pengertian dari PBB.
2. Dapat mengetahui apasajakah yang termasuk
objek pajak.
3. Dapat mengetahui apasajakah subjek pajak
dalam PBB.
4. Dengan penulisan makalah ini diharapkan
dapat engetahui bagaimana cara
penghitungan PBB.
5. Dapat memahami bagaimana dasar pengenaan
PBB.
6. Mengetahui bagaimana dasar hukum PBB.
7. Mengetahui dan memahami bagaimana cara
penagihan PBB.
8. Mengetahui dan meamahami apa itu NJOP dan
NJOPTKP.
9. Mengetahui berapa trif pajak dalam PBB
10. Memahami dan mengetahui SOP, SPPT dan SKP
11. Mengetahui dan memahami bagaimana dan
seperti apa PBB menurut syariah itu.
12. Mengetahui bagaimana tinjauan ekonomi
silam terhadap pajak bumi dan Bangunan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian PBB
Pajak
bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarka Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi
dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaaan obyek yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek(
siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.[1]
Pajak
bumi dan bangunan adalah pajak baru yang mula berlaku pada tanggal 1 januari
1986 berdasarkan UU No. 12 Thn 1986. Pajak ini dimaksudkan untuk menggantikan
peraturan peraturan pajak seperti tersebut di bawah ini:
1. Pajak
Rumah tangga 1908 sebagaimana elah bebrapa kali diubah terakhir dengn peraturan
pemerintah pengganti Undang-undang Nomor
19 Tahun 1959, yang dengan undang-undang
No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang;
2. Ordonansi
Verponding Indonesia 1923, sebagaimana telah di ubah beberapa kali terakhir
dengan staatblad 1931 Nomor 168;
3. Ordonansi
verponding sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dnegan
undang-undang no. 29 tahun 1959;
4. Ordonansi
pajak kekayaan 1932, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang no. 8 Tahun 1967;
5. Ordonansi
pajak jalan 1942 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Rechtspleging Oorlogsmisdrijven Staatsblad 1946 No. 47;
6. Undang-undang
darurat No. 11 tahun 1957 tentang peraturan umum Pjak Daerah Pasal 14 huruf j,
k, dan i, yang dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi
undang-undang.
7. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tantang Pajak Hasil Bumi
yang dengan Undang-undang No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi
Undang-undang .
Dari uraian di atas jelas bahwa pajak Bumi
dan Bangunan adalah bermaksud untuk menyederhanakan bebagai peraturan Pajak
yang sampai sekarang masih berlaku dan menimbulkan banyak kesalah fahaman,
karena pajak-pajak itu oleh rakyat dirasa menimbulkan pajak ganda.
Pajak bumi dn bangunan 1986, sebagaimana
ternyata dari namanya bermaksud menenakan pajak atas Bumi dan bangunan.
Tentunya erlu diketahui apa yang dimaksud BUMI dan apa yang dimaksud BANGUNAN.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 UU Pajak
Bumi dan Bangunan, Bumi adalah permukaan bumi, (Perairan) dan tubuh bumi berada
dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara
tetap pada tanah dn atau perairan, yang diperuntukan sebagai tempat tinggal,
atau tempat berusaha, atau tempat yang dapat diusahakan .[2]
B. Objek PBB
Sebagaimana
tercantum dalam UU PBB yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. (Pasal
2). Yang menjadi objek pajak bumi dan bangunan adalalh Bumi dan/ atau
bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yanf ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pada laman (termasuk rawa-rawa
tambak perairan) secra laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah
kontruksi teknik yang ditanam atau diletaka secara tetap pada tanah dan /atau
perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diuasahakan.
Termasuk
dalam pengertian bangunan disini adalah:
1. Jalam
lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik dan emlasemennya dan
lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan komleks bangunan tersebut.
2. Jalam
tol
3. Kolam
renang
4. Tempat
olahraga
5. Galangan
kapal, dermaga
6. Tempat
penampungan air dan gas, pipa minyak
Adakalanya
orang atau badan memeiliki rumah yang ada di atas tanah orang lain, sehingga
pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang PBB memungkinkan
orang yang memiliki rumah diatas tanah orang lain dikenakan pajak tersendeiri
terlepas dari pajak yang dikenakan dianut asas pemisahan horisontal
(horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan pemilik rumah yang ada diats
tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya tidak sama dengan undang-undang Pokok
Agraria maka ada baiknya bahwa hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak
Bumi dn Bangunan. Masalah ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang
masing-masing terikat dimiliki oleh orang lain.[4]
Objek
pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan bahwa tidak dikenakan
pajak adalah :
1. Digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan ridak untuk keuntungan antara
lain,
2. Digunakan
untuk kuburan, peninggalan pubakala, atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak
4. Digunakan
oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbal balik
5. Digunakan
oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan.
Yang dimaksud dengan tidak dimaksud
memeperoleh keuantungan adalah bahwa objek pajak yang diusahakan untuk melayani
kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal
ini dpat diketahui antara lain dari anggaran dasar anggran rumah tangga dari
yayasan atau badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah
hutan wisata milik negara sesui pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan
negara diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerinta. Objek pajak tersebut
mekdudnya objek pajak tersebut dimiliki atau dikuasai atau digunakan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yag sebagian besar penerimaan
merupakan pendapatan daerah yang antara lain digunakan untuk penyediaan
fasilitas yang juga diminati oleh pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas
tersebut dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar
setinggi-tingginya Rp 12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang
wajib pajak mempunyai beberapa objek
pajak, mkaa yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak lainnya tetap
dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.[5]
C. Subyek dan Wajib Pajak
Subjek pajak adalah ornag pribadi
atau bdan yang secara nyara:
1. Mempunyai
suaru hak atas bumu dan atau
2. Memperoleh
manfaat atas bumi dan atau
3. Memeilikibangunan
dan atau
4. Menguasai
bangunan dan atau
5. Memperoleh
manfaat atas bangunan.
Berikut akan dijelskan secara lebih rinci
mengenai subyek pajak dan wajib pajak sebagai berikut.
Subjek pajak adalah orang atau badan yang
secara nyata mempunyai satu hak atas
bumi dan atau memiliki, menguadasi dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupaka bukt
pemilik hak, setiap yang dikenakan pajak maka dia secara jelas wajib pajak dan
apabila objek pajak belum diketaui secara wajib pajaknya maka Direktur Jendral
Pajak mempuyai wewenang untu menentukan subjek wajib pajak apabila suatu objek
pajak belum jelas wajib pajaknya.
Contohnya adalah sebagai
berikut:
Subjek pajak x memanfaatkan untuk
menggunakan bumi dan atau bangunan milik y bukan karenas sesuatu hak bersasar
undang-undang atu bukan karena perjanjian, maka x ayang memanfaatkan atu
menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.Suatu objek
pajak yang masih dalam sengketa pemilikan dipengadilan, maka orang atau badan
yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai
wajib pajak. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak
objek pajak tersebut dikuasakan kepada
orang atau badan yng diberi kuasa dpat ditunjukan sebgai wajib pajak. Penujukan
tersebut dilakukan oleh Dirjen Pajak dan bukan bukti pemikan hak.
Untuk wajib pajak tersebut diatas dapat
diberikan keteangan secara tertulis kepad Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan
wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud, bilaketerangan tersebut
disetujui, maka Direktur Jendral pajak menetapkan pembatalan sebagai wajib
pajak sebagaimana diatas dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan
tersebut. Abila surat yang diajuka tidak disetujui maka Direktur Jendral mengeluarkan surat
keputusan penoleakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila setelah jangka
waktu satu bulan sejak tangal diterimanya surat keputusan penolakan , Direktur
Jendral Pajak tidak memberikan keptusan, maka keterangan keterangan yang
ditujukan dianggap disetujui dan apabila Direktur Jendral Pajak diajukan itu
memeberikan keputausan dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
ketenagan dari wajib pajak, maka ketetepan sabagai wajib pajak gugur dengan
sendirinya dan berhak mendapat keputusan pencaburan penetapan sebagai wajib
pajak.[6]
D. Cara Menghitungan PBB
Untuk
menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang harus dibayar maka harus
diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi) dan/atau bangunan yang menjadi
obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan
bangunan didasakan pada keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang
terbari adalah peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi dan penetapan Nilai Jual Obyek
Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang menggantikan
keputusan Menteri Kuangan Nomor 523/KMK.04/1998.[7]
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya
Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00, maka
besarnya pajak yang terutang adalah :
PBB = 0,5% x 20% x
(Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00)
= 0,001
x Rp8.000.000,00
= Rp8.000,00
E. Dasar pengenaan PBB
Dasar
pengenaan pajak adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapka per
wilayah berdasarkan keputusan Menteri Kuangan dengan mendengar perimbangan
gubernur serta pemperhatikan:
1.
Harga rata-rata ygn diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar.
2.
Perbandingan harga dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dengan funsinya sama dan telah diketahui harga jualnya
3.
Nilai perolehan baru
4.
Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
5.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Ø Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah)
setempat.
Ø Dasar
penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
stinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Ø Besarnya
persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi
ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek
Pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang
karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka
penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam penetapan nilai jual, Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat
serta memperhatikan asas self assessment.
Yang dimaksud (assessment value) adalah
nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu
persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
1. Nilai
jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase misalnya 20%, maka
besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 = Rp400.000,00.
2. Nilai
jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Persentase misalnya 40%,
maka besarnya 40% x Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama
untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan
tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan telah
ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:
1. Sebesar
40% (empqt puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek
Pajak perkebunan.
b. Objek
Pajak kehutanan.
c. Objek
Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas buk9 dan
bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2. Sebesar
20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :
a. Objek
Pajak pertambangan.
b. Objek
Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
F. Dasar
Hukum Pajak
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan (PBB)
adalah Undang-undang No.12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994.
ASAS
Asas Pajak bumi dan Bangunan;
1. Memberikan
kemudahan dan kesederhanaan.
2. Adanya
kepastian hukum.
3. Mudah
dimengerti dan adil.
4. Menghindari
pajak berganda.
G.
Tata Cara Penagihan Dan Pembayaran Pajak
1.
Jangka Waktu Pembayaran
Seperti telah kami uraikan di muka pada PBB
belum diberlakukan sistem self assesment, dan pajak baru harus dibayarkan
setelah ada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus dilunasi
selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterima Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang (Ps 11 ayat 1 UU PBB). Pajak yang terhutang berdasarkan Surat
Ketetapan Pajak harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal
diterima Surat Ketatapan Pajak.
Ternyata di sini terdapat jangkat waktu yang
berlainan yaitu 6 bulan dan 1 bulan. Jangka waktu 6 bulan itu diberikan karena
wajib pajak memenuhi segala peraturan sehingga diberi kelonggaran selama 6
bulan. Ini berarti bahwa jumlah pajak itu dapat dicicil selama 6 bulan asal
sudah lunas pada selambat-lambatnya 6 bulan setelah diterima SPPT.
Tetapi pajak yang terhutang berdasarkan SKP
hanya diberikan jangka waktu 1 bulan. Di sini sebetulnya ada umur sanksi,
karena wajib pajak tidak memenuhi (seluruhnya) ketentuan Undang-undang.
2. Terlambat Membayar
Pajak harus sudah lunas pada ssat hutang
jatuh temponya, pembayaran dapat diatur sendiri oleh wajib pajak, asal tidak
melampaui batas waktu.
Jika pada saat hutang pajak jatuh tempo, dan
ternyata pajak belum dibayar atau belum dibayar semua, maka dikenakan denda
administrasi sebesar 2% sebulan, untuk jumlah yang sudah jatuh temponya tetapi
belum dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari
pembayaran. Untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (Pasal 11 ayat 3).
Contoh:
SPPT tahun pajak diterima oleh wajib pajak
pada tanggal 1 Maret 1986, dan besarnya pajak yang terhutang, adalah
Rp100.000,- pada tanggal 2 September 1986 jumlah itu baru dibayar semuanya.
Hutang pajak tersebut jatuh temponya pada tanggal 31 Agustus 1986, 6 bulan
setelah SPPT diterima, jadi pembayaran dilakukan terlambat 2 hari. Maka, wajib
pajak dikenakan denda administrasi sebesar 2%. Walaupun terlambat 1 hari
ataupun 10 hari atau 20 hari, dendanya tetap 2% sebulan. Jadi pajak baru harus
dibayar pada tanggal 2 September 1986, maka yang harus dibayar adalah
Rp100.000,-, + 2% x Rp100.000,- = Rp102.000,-. Dan andaikata pajak baru dibayar
pada tanggal 10 Oktober (jadi dihitung terlambat 2 bulan) maka pajak yang harus
dibayar berikut dendanya adalahRp100.000,- + ( 2 x 2% x Rp100.000,-) =
Rp104.000,- (pasal 11 ayat 3).
Kalau hutang pajak itu ternyata belum dibayar
pada waktu pengecekan/pengawasan dilakukan, maka oleh kantor inspeksi pajak
yang mengadministrasikan hutang pajak itu, akan dikeluarkan surat tagihan pajak sebesar jumlah pajak
yang belum dibayar ditambah denda 2% untuk setiap bulan terlambat membayar
(pasal 11 ayat 4). Menurut penjelasan UU surat tagihan pajak itu harus dilunasi
dalam jangka waktu 1 bulan terhitung sejak tanggal diterima STP tersebut.
3. Tempat Dan Cara Pembayaran Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang dapat
dibayar di bank, kantor pos, dan giro dan tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan. Karena pajak bumi dan bangunan, hasilnya sebagian besar akan
diserahkan kepada pemerintah daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan
tempat-tempat pembayaran yang memudahkan wajib pajak, dan pula agar pemerintah
daerah dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan. Pajak untuk membiayai
pembangunan di masing-masing wilayahnya. Kantor pos dan giro tersebear
dimana-mana sampai ke kota-kota kecil, yang akan sangat memudahkan para wajib
pajak yang tempat tinggalnya jauh dari kota-kota besar. Juga bank terdapat
dimana-mana yang juga dapat dimanfaatkan untuk menerima pembayaran PBB.
Disamping itu menteri keuangan masih dapat menunjuk di tempat-tempat lain yang
diberi tugas untuk menerima pembayaran PBB (pasal 11 ayat 5 UU PBB).
Tatacara pembayaran pajak dan penagihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 1 s.d 5, diatur oleh menteri keuangan,
dalam Kep.Men.Keu. No.1005/KMK04/1985.tgl.28-12-1985, lihat juga Kep.Men.Keu.
No.346/KMK.01/1985.
Dalam hal PBB dibayar melalui petugas
pemungut yang ditunjuk untuk itu maka setiap hari petugas pemungut wajib
menyetorkan hasil pungutan PBB ke kantor pos dan giro setempat atau ke cabang
Bank pemerintah setempat.
4. Penagihan
Lazimnya jika wajib pajak melakukan
kewajibannya membayar pajak pada waktunya, maka tidak akan dilakukan penagihan
oleh kantor inspeksi pajak yang bersangkutan. Penagihan baru dilakukan oleh
kantor inspeksi pajak apabila wajib pajak tidak membayar hutang pajak yang
sudah jatuh temponya, atau terlambat membayar pajak, sehingga dikenakan biaya
sanksi administrasi. Surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), surat
ketetapan pajak (SKP) dan surat tagihan pajak (STP) merupakan dasar untuk
penagihan pajak (pasal 12 UU PBB).
Jika andaikata wajib pajak mempunyai hutang
pajak berdasarkan SPPT sejumlah Rp100.000,- yang jatuh temponya pada tanggal 31
Agustus 1986, tetapi ternyata pada tanggal 2 November belum juga ada pembayaran
maka akan diberi teguran dan baru kemudian dikeluarkan surat tagihan pajak oleh
kantor inspeksi pajak, ditambah denda sebesar 2% utnuk setiap bulan terlambat
pembayaran ( = 3 bulan). Surat tagihan pajak ini harus dibayar dalam waktu 1
bulan sejak tanggal diterima STP tersebut.
Jika dalam jangka waktu 1 bulan STP tidak
juga dibayar maka pajak beserta denda ditagihkan dengan surat paksa (pasal 13
UU PBB). Untuk penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa berlaku UU No 19
tahun 1959 (tentang penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa).
Cara penagihan dilakukan sesuai dengan
ketentuan UU tersebut, mengenai caranya, juru sita dan mengenai sita dan lelang
(lihat Rochamat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan PT. Eresco 1986). Jika kita
bandingkan dengan peraturan yang lazim diterapkan maka surat tagihan pajak
berfungsi sebagai surat teguran terakhir yang kemudian dapat disusul dengan
surat paksa.
5. Pelimpahan Penagihan PBB
Menteri keuangan oleh UU diberi wewenang
untuk melimpahkan penagihan PBB kepada gubernur/kepala daerah tingkat I
dan/atau kepada bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II (pasal 13 UU
PBB).
Penjelasan pasal 14 mengatakan bahwa
pelimpahan wewenang penagihan pajak kepada gubernur/kepala daerah tingkat I
dan/atau kepada bupati/walikota kepada kepala daerah tingkat II bukanlah pelimpahan urusan penagihan
melainkan hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendatan objek pajak dan
penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi wewenang menteri keuangan. Lihat
Kep.Men.Keu No.1007/KMK.04/1985.
Dalam hal jumlah pajak yang terutang sebagaimana
tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terhutang, tidak sesuai dengan objek
pajak yang sebenarnya maka pemungut pajak (dalam hal ini gubernur, bupati, atau
walikota) tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus
melaporkan hal tersebut kepada menteri keuangan c.q direktur jenderal pajak.
Pelimpahan wewenang ini tidak meliputi penagihan PBB untuk wajib
pajak perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.[8]
H.
NJOP dan NJOPTKP
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
tetrdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,
atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Yang dimaksud dengan :
· Perbandingan
harta dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak
lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
· Nilai
perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
· Nilai
jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi :
1. Objek
pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan.
2. Objek
Pajak Sektor Perkebunan.
3. Objek
Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan hasil Hutan,
Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri.
4. Objek
Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
5. Objek
Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas
Bumi.
7. Objek
Pajak Sektor PertambanganNon Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan
Galian C.
8. Objek
Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.
9. Objek
Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak
Kerjasama.
10. Objek
Pajak usaha bidang perikanan laut.
11. Objek
Pajak usaha bidang perikanan darat.
12. Objek
Pajak yang bersifat khusus.
Sedangkan NJOPTKP adalah batas NJOP atas
bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Mulai 1 Januari 2010, pemerintah
menetapkan aturan baru tentang nilai jual kena pajak (NJKP) dan nilai jual
objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada
15 September 2009. Besaran NJOPTKP diubah dari sebelumnya ditetapkan
setinggi-tingginya Rp12.000.000,-, kini paling rendah Rp10.000.000,- per objek
pajak berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah.
Pada tahun 2011 seiring dengan
perkembangan ekonomi, moneter, dan harga umum objek pajak, menteri keuangan
telah melakukan penyesuaian terhadap besarnya nilai jual objek pajak tidak kena
pajak (NJOPTKP) PBB. Besarnya NJOPTKP PBB untuk tahun 2012 ditetapkan maksimal
sebesar Rp24.000.000,- NJOPTKP merupakan pengurangan besarnya NJOP sebelum
dikalikan tarif PBB sehingga NJOPTKP akan mengurangi besarnya PBB yang
terutang.
Untuk menentukan besarnya NJOPTKP
PBB tahun 2012 ditetapkan oleh kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak
setempat atas nama menteri keuangan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan
mempertimbangkan pendapat pemerintah daerah setempat, ketentuan tersebut diatur
dalam peraturan menteri keuangan No.67/PMK.03/2011, tanggal 4 April 2011
artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif
NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran
PBB yang harus ditanggung masyarakat. Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP,
akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota
kepada dunia usaha.
I.
Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak
adalah sebesar 0,5%(lima per sepuluh persen).
Tarif PBB untuk pedesaan dan perkotaan
diturunkan dari 0,5% terhadap nilai jual objek pajak (NJOP) menjadi paling
tinggi 0,3% dari NJOP.
Perubahan tarif PBB pedesaan dan
perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada tanggal 15 September
2009.
Langkah ini diharapkan dapat
memperluas basis pemungutan PBB kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah
31 Desember 2013.[9]
1. Tahun
Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang
Ø Tahun
pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim
adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Ø Saat
yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari.
Contoh :
a. Objek
pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10
Januari 2005 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan
terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa
sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005 dilakukan
pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak
yang terutang untuk tahun 2005 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal
1 Januari 2005. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
2. Tempat
pajak yang terutang :
a. Untuk
daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk
daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk
Batam, di wilayah Provinsi Riau.
J.
SPOP, SPPT dan SKP
1. Dalam
rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi
SPOP.
Dalam rangka
pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada
Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib
mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib
mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jemdral Pajak.
2. SPOP
harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP
oleh subjek pajak.
Yang dimaksud
dengan jelas dan benar adalah ;
Jelas,
dimaksudkan
agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak
sendiri.
Benar,
berarti
data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas
tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan
kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
3. Dirjen
Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan
atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat diterbitkan
berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jendral Pajak.
4. Direktur
Jendral Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan pajak dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. Apabila
SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang (seharusnya) lebih besar dari umlah pajak yang dihitung berdasrkan
SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tudak menyampaikan SPOP
pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan
dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jendral
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau
keterangan lain yang ada pada Direktorat Jendral Pajak ternnyata jumlah oajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar
SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jendral Pajak menerbitkan SKP
secara jabatan.
5. Jumlah
pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah
pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok
pajak.
Sanksi
administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP,
dikenakan sanksi sebagaimana tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25%
dari pokok pajak.
SKP ini
berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jendral Pajak memuat penetapan objek
pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang
dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib pajak A
tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data
yang ada, Direktur Jendral Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi:
· Objek
pajak dengan luas dan nilai jual
· Luas
objek pajak menurut SPOP
· Pokok
pajak Rp2.000.000,00
·
Sanksi Administrasi :
25% x Rp2.000.000,00 Rp 500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam
SKP Rp2.500.000,00
6. Jumlah
pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no. 4 huruf b,
adalah selisis pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP
ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi
administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp2.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
seharusnya
terutang 2.500.000,00
Selisih Rp
500.000,00
Denda
administrasi 25% x Rp500.000,00 125.000,00
Jumlah pajak
yang terutang dalam SKPKB Rp
625.000,00
Untuk
lebih memperjelas uraian di muka, berikut diberikan bagan mengenai sistem
pengenaan PBB dan bagaimana SPOP, SPPT,
dan SKP dikeluarkan.[10]
SISTEM PENGENAAN PBB
SPOP
hanya diberikan dalam hal :
1.
Objek pajak belum terdaftar/data belum
lengkap.
2.
Objek pajak telah terdaftar tetapi data
belum lengkap.
3.
NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi.
4.
Objek pajak dimutasikan/laporan dari
instansi yang berkaitan langsung dengan objek pajak.
Berikut ini deberikan beberapa bagan yang menggambarkan SPOP kembali, SPOP tidak kembali, dan SPOP kembali tetapi tidak benar,
SPOP ditinjau dari sifat dan fungsinya.
K.
PBB menurut syariah
Pajak Bumi dan bangunan (pbb) adalah pajak
yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan undang-undang Nomoe 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000. PBB adalah pajak yang berdifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu
bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut
menentukan besarnya pajak.
Sedangkan objek PBB adala “Bumi dan /atau
Bangunan”
Bumi:
Permukaan bumi (tnah dan perairan) dan tubuh
bumi yang ada dibawahna. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan,
tambang, dan lain-lain.
Bangunan:
Kontruksi teknik yang dinamakan atau
diletakan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan di wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah tempat tinggal,
bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam
renang, anjungan minyak lepas pantai dan lain-lain.
Objek yang dikecualaikan adalah objek yang;
1. Digunakan
untuk semata-mata melayani kepentingan umum dibidang ibadah sosial, pendidikan
dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti
masjid, greja, rumah sakit, pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan
lain-lain.
2. Digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala.
3. Merupakan
hutan lindung, suaka alam, hutan wisata taman nasional dan lain-lain.
4. Dimiliki
oleh perwakilan diplomatik bersaarkan asas timbal balik dan organisasi
internsional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1. Mempunyai
suaru hak atas bumi dan/atau
2. Memeperoleh
manfaat atas bumi, dan atau
3. Memiliki,
menguasai atas bangunan dan atau
4. Memeperoleh
manfaat atas bangunann
Kalo
dilihat dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena
kaum muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki,
tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan
lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim
atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil
tanah sebgai zakat.
Dengan
kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum
Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/ bangunan yang merka miliki,
tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau
bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa mareri berupa bauahnya,
maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.[11]
L.
Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di Indonesia
1. Konsep
kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan
kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid Allah SWT
sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu yang ada
di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S Ibrahim (14)ayat 32.
“Allah
lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurut air hujan dan langit..
(Q.S Ibrahim (14):32)
Seluruh
isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia dapat memanfaatkan yang
ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga hidup mereka Islam menganggap hak
kepemilikan adalah pembemberian Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan
seluruh umat. Kekausaan manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari
perannya sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malikat, sesungghnya aku hendak menjadikan sorang khalifah di muka bumi, (Q.S
Al-Baqarah:30)
Allah
telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga sebagai khalifah,
manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah sediakan di muka bumi. Semua
yang halal dapat menjadi hak milik manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan
kehidupan mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh
bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ysng
dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil
keuntungan dari suatu badan yang berada dlam kekusaan tanpa merugikan orang
lain.
Menurut
Undang-Unang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 hak milik adalah hak turun
menuru, terkuat dan yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Konsep
kepemilikan dalam ekonomi islam ada tiga benruk yaitu:
1. Kepemilikan
pribadi (Prifate Ownership)
2. Kepemilikan
Publik (Public ownership)
3. Kepemilikan
Negara (State ownership)
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep
kepemilikan dalam ekonomi Islam:
1. Kepemilikian
Pribadi (Private Ownership)
Setiap
individfu memiliki hak untu menikmati hak miliknya, menggunkan secara
Produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemborosan. Tetapi, haknua itu
dibatasi oleh sejumlah batasan. Ia tidak boleh menggunakannya secara
berhambur-hambur, juga tidak
bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk tujuan
bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu tidak boleh menggunakan hak
miliknya, yang biasa bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.
2. Kepemilikan
Publik (public ownership)
Kepemilikan
publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya diperlukan untuk kepentingan
sosial. Contohnya pentig dari pemilikan bersama adalah anugrah alam. Seperti
air, rumput dan api, yang secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW.
Semua itu pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan apapun
untuk menggunakannya. Aladan lain adalah dami kepentingan umum. Jika ada
individu yang menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan
kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan
api hanya contoh kecil saja, akan tetapi masih banyak objek yang lain yang
meimiliki kesamaan karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan
mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik kolektif,
seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
3.
Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara
membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber-sumber penghasilan
dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misanlnya untuk
menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadailan, dan
secaara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah,
sumber utama kekayaan negara adalah zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara
juga bisa meningkatkan sumber penghasilannya dengan mengenakan pajak, ketika
dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara secara aktual
merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara hanya sebagai pemegang amanah
(caretaker), sehingga merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna
kepentingan publik. Dalam kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut
pandang dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi Islam
dalam hal kepemilikan.
Konsep kepemilikan
dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep pada sistem kapitalisme maupun
sosialisme. Sistem kapitalisme mengedepankan
individualisme sehingga memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu
untuk memiliki apa saja yang diingankan. Sedangkan sistem sosialisme
sebaliknya, mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung tidak
memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi dimiliki dan
dikuasai oleh negera.
Kedua sistem
ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi Islam dalam hal konsep
kepemilikan Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat
memiliki harta kekayaan. Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam
kehidupan setiap individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam
masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan fitrah manusia.
Namun dalam
ekonomi Islam hak individu terhadap harta dibatasi oleh hak masyarakat. Artinya
dalam harta individu terdapat hak milik masyarakat terutama masyarakat yang
tidak mampu. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19 yang artinya:
“dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian.”
Dalam ekonomi
Islam, tanah merupakan kekayaan alam yang paling penting dimana tampaknya
hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk apapun.
Tanah merupakan sumber penghidupan yang pertama dalam Islam dengan tanah kita
dapat menderikan tempat tinggal, bercocok tanam, mendirikan tempat produksi,
dan lain sebagainya.
Kepemilikan
tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan peranan penting dalam
pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak
ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang
individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan
usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang
menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendapat lain
mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan pribadi atas tanah kecuali bila
individu telah memiliki sebidang tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk
kepangkuan Islam secara sukarela atau melalui perjanjian. Menurut Ibnu
Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah bukanlah hak
absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk terus
menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi bagi kemajuan
masyarakat Islam.
Dalam buku
Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr dijelaskan bahwa ada berbagai
keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara
lain:
1. Tanah
yang masuk wilayah Islam melalui penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke
pangkuan negara Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir,
Iran, Suriyah dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, keadaan
tanah-tanah tersebut tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda,
yaitu:
a. Tanah
yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan. Tanah tersebu menjadi
milik bersama kaum muslim, baik generasi muslim saat penaklukan maupun generasi
muslim di masa mendatang.
b. Tanah
mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap oleh tangan manusia pada
saat penaklukan maka tanah ini akan menjadi milik imam (negara).
c. Tanah
yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan dan tanah subur secara alami
mendapat status kepemilikan bersama kaum muslim.
2. Tanah
yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah
Tanah
yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya
menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota
Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.
Tanah-tanah
hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Tanah
yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam secara sukarela.
b. Tanah
yang subur secara alami seperti hutan serta berupa tanah mati. Tanah yang subur
alami menjadi milik negara dan individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi
tidak dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara. Akan tetapi
apabila ada individu yang menghidupkan (menggarap) maka tanah mati tersebut
menjadi miliknya.
3. Tanah
yang Masuk Wilayah Islam Melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah
ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap memeluk agama mereka
serta hidup damai dan aman dibawah naungan negara Islam. Tanah ini tetap
menjadi milik mereka. Namun, jika didalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah
tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip
kepemilikan bersama.
2. Pemungutan
Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Harta rampasan
perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta bergerak atau harta yang dapat
dipindahkan tetapi juga harta tidak bergerak yang meliputi tanah-tanah
pertanian di negara yang dikuasai.
Di antara
tindakan Rasulullah SAW. terhadap tanah yang dikuasai yang dapat dijadikan
contoh adalah perlakuan beliau terhadap tanah Khaibar adalah sumber kharaj
untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar ditaklukan, tanah tersebut
diserahkan pada bangsa Yahudi khaibar bukan untuk dijadikan sebagai milik
mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan syarat yang mereka
ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil tanaman dan
buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil setengahnya sebagai kharaj,
Nabi SAW. mengutus Abdullah bin Rawahah.
Secara
sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa dia ambil
dari kata “kharaja”, yng artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj adalah apa
yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan
harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada
yang memeberikan pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak
tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak
bumi, jizyah dan ’Usyr .
Dalam reading in
islamic fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut:
Khera was used for
levies in return for leasing a land. The Arabs used to call land rent or haouse
rent as kharaj. Umar leased conquered lands to people in return of a fixed levy
and it was called kharaj .
Pada masa
rosullulah saw, jumlah kharaj yang
dibayarkan masih sangat terbatas shingga
tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang terperinci. Selama pemerintahan
khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam semakin luas seiring dengan banyaknya
daerah-daerah yang berhasil ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara
damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dengan semakin
lausnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem administrasi yang
terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yag
diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Dimasa Umar Bin
Khatab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta
memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar
harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang ditetapkan
rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta yang berupa barang
saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya sebagai milik umum umat
islam dan diambil kharaj darinya.
Sistem
pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam sistem yaitu
sistem wazifah (tetap) dn sistem muqasamah (proporsional). Dalam buku reading
in islamic fiscal policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu
sebagai berkut:
Kheraj, since
the dayas of HAZRAT Umar and until Mahdi’s reign during the Abbasaid era, was
levied on acreage basis and not on crop. A major development accurred during
Al-Mahdi’s reign and the state adopten Al-Mugasama or crop sharing intead of
the aceage system. The state under new system shared crpos with tenant on the
basis of a certain percentage of total harvest. This implied that kharaj,
rwverme would not be fixed but would very with variation in total crop. A main
reason behind the change was suggested to reduce burned of fixed kharaj on
formers.
Abu Ubeid, the
founder of new system, suggested new rates which varied according ti
difficulties of irrigation. Rates ware reduce wherever difficulties existed. Rates also varied according to
vicinty to market. This gives a clear
indication that vartical aquity
was catered for Islamic levies. Abu yusuf later suported the new system as
being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also be
subject to kheraj. He also suggested that the ruller could veru kheraj
according the ability ot tenant.
Cara pemungutan
kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (waziyah), yaitu beban pada tanah
sebanyak hsil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib setelah
lampau satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari halifah Umar bin Khattab
sampai pada amasa daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode
perhitungan wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan
tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode ini mulai
berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu yusuf berpandangan bahwa sistem misaha
atau wazifah ini tidak lagi efesien
untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab menerapkan metode ini
hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah sedangakan seabgian lainnya
menganggur. Area yang diolah diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj
juga dikumpulkan dari tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan
optimalisasi pemsukan bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf
menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mengubah sistem
Wazifah dengan muqasamah.
Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan (
muqasamah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total
hasil yang panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang
yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta
menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak atas tanah
mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan pertimbangan
persentase yang ditetepkan oleh negara tidak terlalu tinggi. Abu yusuf
merekomendasikan adaptsi dari sistem muqasamah denganmengenakan presentase dari
produksi panen. Yang sudah ada
Penetapan kharaj
(pajak tanah) harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, sebab
ada tiga hal berbeda yang sangat berpengaruh, yaitu:
1. Jenis
tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya
lebih baik dari tanah yang buruk.
2. Jenis
tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.
3. Pengelolaan
tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak sebesar pajak
tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).
Kharaj
yang
ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum sesuai dengan ukuran dan
nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi Kharaj telah
memenuhi syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang
bagus. Kharaj adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam
penetapannya, demikian juga dalam pengambilannya.
Analisa Ekonomi Islam
terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia
1. Dasar Hukum Pajak
Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam
Pajak Bumi dan
Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994. Dengan
pertimbangan bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak
atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila
mereka diwajibkan memberikan sebagaian dari manfaat atau kenikmatan yang
diperolehnya kepada negara melalui pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat
penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembagunan nasional yang bertujuan
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam
ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit tentang PBB, yang ada
hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari objeknya, baik
itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah. Namun, pada
PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat
yang memilih tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena
itu, kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus dijalankan.
Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi
negara-negara muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu
harus menemukan contoh masing-masing pada masa lalu. Kebijakan yang relavan
bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara Islam untuk mengenakan pajak
dengan keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis bila perpajakan
negara-negara muslim harus terbatas hanya pada lahan pajak yang telah dibahas
oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan perlu melengkapi sistem pajak
dengan menyertakan realitas perubahan terhadap kebutuhan negara berkembang dan
perekonomian modern.
Salah satu sumber penerimaan negara Islam
adalah zakat dan sasaran penggunaan dana zakat hanya terbatas pada delapan
asnaf yang telah ditentukan Al-Quran. Oleh karena itu, keperluan pembangunan
insfratuktur seperti untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, pengairan, dan
lain sebagainya harus dibiayai dari sumber lain di luar zakat.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas
negara dapat tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan
lain-lain. adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada. Maka
untuk dapat membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali
mengenakan pajak. Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi syarat bagi yang
wajib adalah wajib.”
Menurut para pemikir ekonom Islam
kontemporer, negara-negara Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak,
yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin
dengan meningkatkan pajak bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam.
Namun dengan melakukan pinjaman kepada negara asing dan lembaga keuangan
internasional akan berpotensi membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban
sementara waktu yang pada akhirnya akan membebani generasi mendatang karena
diwariskan hutang yang berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak
lebih dipilih dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan
pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Ø Benar-benar harta (dana) itu
dibutuhkan dna tidak ada sumber lain.
Ø Pembagian beban pajak yang adil
Ø Pajak hendaknya dipergunakan
untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu
Ø Persetujuan para ahli dan para
cendikia
Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah
selalu meminta pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan
kebijakan. Sebagaimana QS. An-Nisa: 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yagn beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil mari di antara kamu...”
Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dendan
sumebr penerimaan negara lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses
pembangunan baik pembangunan fisik sepertijalan, jembatan, gedung, rumah sakit,
dan sekolah keagamaan (kerohanian) dan lain sebagainya yang tidak terlihat
namun berperan penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk menghimpun penerimaan
negara, kebijakan di bidang PBB juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas
tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang
nilai ekonomisnya dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan
produktif. Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan
keuntungan bagi pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai
ekonomis tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB mendorong
masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan yang mereka miliki.
2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan
Tema distribusi menjadi kajian sentral dalam
filosofi ekonomi Islam, secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah
menyangkut distribusi kekayaan. Konsep kekayaan adalah konsep stock, seperti halnya tabungan yang
diinvestasikan atau ditumpuk-tumpuk inilah kekayaan seseorang pada titik
tertentu. Sedangkan konsep pendapatan adalah konsep flow, misalnya pendapatan perminggu, perbulan, atau pertahun.
Dalam kehidupan ada sejumlah orang yang
memiliki kekayaan sementara yang lainnya tidak. Kekayaan tersebut bukanlah hak
dan kendali absolut, sehingga bukan untuk dihabiskan sia-sia atau didiamkan
tanpa dimanfaatkan. Namun harus digunakan untuk tujuan produktif sehingga tidak
hanya bermanfaat bagi dirinya tetapi juga bagi oranglain.
Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial
ialah menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota
masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan berusaha
menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan kepada seluruh anggota
masyarakat.
Islam memberi hak intervensi kepada negara
untuk mengaplikasikan konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi
penyimpangan dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan gagasan
keadilan sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan adanya konsep
distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan ditemui sebuah perbedaaan
tingkat ekonomi, ataupun kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota
masyarakat.
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi
masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas
Zarqa mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :
1. Pemenuhan kebutuhan bagi semua
makhluk hidup.
2.
Menimbulkan
efek positif bagi pemberi itu sendiri, misalnya zakat, selain dapat
membersihkan diri dan harta muzakki juga meningkatkan keimanan dan
menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain.
3.
Menciptkan
kebaikan antara yang kaya dan yang miskin.
4.
Mengurangi
kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
5.
Pemanfaatan
lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.
6. Memberikan harapan pada orang
lain melalui pemberian
Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan. Yang pertama adalah
distribusi sumber-sumber produksi (kekayaan induk) seperti tanah, bahan-bahan
mentah, alat dan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi barang dan
komoditas. Sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif (kekayaan
turunan), yaitu barang-barang modal dan aset tetapi (fixed asset) seperti
gedung, kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan hasil dari proses
produksi menusia dengan kerja. Jadi dalam ekonomi Islam distribusi mencakup
pada kedua jenis keyaan itu.
Pajak merupakan salah satu
alat redistribusi kekayaan dalam ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf,
wasiat dan warisan. Distribusi kekayaan dilakukan sebagai usaha untuk mencegah
konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja
di antara kamu .. “ (Q.S. Al-Hasy (59):7)
Objek yang dikenakan PBB
adalah bumi dan atau bangunan. Bumi atau tanah merupakan salah satu sumber
produksi dan bangunan merupakan salah satu jenis kekayaan produktif sehingga
kedua merupakan objek dari distribusi kekayaan.
Salah satu cara untuk mendistribusikan kekayaan tersebut adalah
dengan memungut pajak dari kekayaan yang dimiliki masyarakat dan hasil dari
pajak tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat kembali.
3. Tarif perpajakan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam Ekonomi
Islam
Tarif
perpajakan di Indonesia ada beberapa macam dan sistem tarif yang digunakan
dalam pajak dan bangunan (PBB) adalah tarif proporsional. Dimana besarnya
presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga
besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak. Besarnya presentase yang digunakan dalam PBB sebesar 0,5%. Apakah adil
penggunaan presentase tarif pajak yang sama antara orang yang memiliki tanah
luas dengan orang yang hanya memiliki tanah untuk kebutuhan primer?
Menurut Rochmat Soemitro pajak merupakan
senjata yang ampuh utnuk menjembatani jurang kemisikinan antara golongan yang
berpenghasilan tinggi dengan golongan yang berpenghasilan rendah. Untuk hal
tersebut, ditempuh dengan jalan menerapkan tarif progresif. Pada tarif
progresif persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar.
Pajak merupakan alat retribusi kekayaan,
dimana pajak dengan tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang
lebih tinggi pada golongan yang mampu, peranan ini sangat penting untuk
mengenakan keadilan sosial.
Dalam bukunya Majmuatur Rasa’il, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa sestem
perpajakan progresif seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan
sosial dan distribusi pendapatan yang merata.
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan
pajak progresif yang ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan
tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara
tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Pada masa nNabi tarif zakat bisa begitu
rendah adalah lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari
dana zakat relatif masih sederhana, jauh dibawah tingkat kebutuhan masyarakat
zaman sekarang, seperti kebutuhan untuk membangun jalan tol, kebutuhan jaringan
komunikasi dengan satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya.
Besar kecilnya tarif pajak secara absolut
yang harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya
tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip
syariat. Nabi menetapkan tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu
jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya,
yaitu harta karun (rikaz). Artinya,
apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan yang ditemukan lebih berat
pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang
ini, tarif yang ditentukan Nai tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar.
Kalau perlu sistem perpajakan progresif pun bisa diterapkan.
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia
menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5%. Di mana tidak ada kenaikan tarif
seiring dengan bertambahnya dasar pengenaan PBB. Sehingga tidak mengherankan
hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam
nemtuk tanah maupun bangunan (property).
Pajak progresif adalah cara yang terbaik
untuk menghilangkan perbedaan kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana
kekayaan itu tidak dapat didistribusikan secara merata di antara masyarakat.
Oleh karena itu, untuk merubah keadaan demikian harus digunakan pajak
bertingkat (progresif) agar jurang perbedaan dapat diperkecil. Hendaklah orang
kaya diturunkan setingkat dan orang miskin dinaikkan setingkat sehingga dua
golongan ini berdekatan satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalaha pajak
negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarka Undang-Undang
nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah
dengan undang-uangang no 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang berdifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaaan obyek
yaitu bumi /tanah atau bangunan. Keadaan subyek( siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Sesuai dengan UU Pph, atas pengahasilan dari
pengalihan dan pengalihan hak berupa tanah dan /atau bangunan, pengenaan
pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. PP yang mengatur mengenai hal ini
adalah PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Pengasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hk atas tanah dan/atau
bangunan. PP ini mencabut ketentuan lama yaitu PP nomor 3 tahun 1994 tentang
pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun berjalan atas penghasilan dari
pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dilihat
dari sisi subjekna, PBB ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum
muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki,
tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan
lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim
atas tanah itu tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil
tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil
yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas
tanah dan/ bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi
pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik
hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.
B. Saran
Dengan makalah ini semoga
pembaca bisa mengetahui dan memahami mengenai pajak bumi dan bangunan serta
tata caranya, sehingga dalam pengaplikasian nyatanya pembaca tidak akan
menemukan kekeliruan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aristanti
widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung: Alfabeta.
Gushfahmi.
2007.Pajak Menurut Syriah.jakarta:
Rajawali Pers.
Mardiasmo.
2008. Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan
Bangunan. Bandung: PT ERESCO BANDUNG.
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.Pajak
Di Indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
Wahyudi
triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/1247
[1]
Aristanti widyaningsih.2013.Hukum pajak dan perpajakan. Bandung: Alfabeta.
[2]
Siemitro Rohmat. 1989.Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT ERESCO BANDUNG.
[3]
Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
[4]
Ibid
[5]
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA
ILMU
[6]
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA
ILMU5
[7]
IBID
[8]
Ibid
[9]
ibid
[11]
Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut
Syriah.jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar